Afghanistan

‘Ketika saya menikah, saya menangis’

Ketika pemberi pinjaman “mendesak” ibunya yang janda, Babogai, 11 tahun, yang tadinya berjualan kayu bakar dan kertas untuk membantu keluarganya, menjadi seorang istri muda yang kewalahan dengan tanggung jawabnya dan terbebani oleh harapan suami dan keluarganya. Setelah dua bulan dia kembali pulang ke rumahnya, Babogai kembali berjualan kertas demi uang 10 atau 20 afghani.

Transkrip:

Namaku Babogai.

Saya berusia 11 tahun.

Saya sudah menikah selama enam bulan.

Sebelum menikah, saya mengumpulkan kertas bekas. Saya bekerja dengan ibu saya. Dia sakit.

Inilah ceritanya mengapa saya datang ke sini. Ayah saya tewas dalam pertempuran.

Ketika ayah saya meninggal di provinsi Helmand, kami pindah ke sini.

Ibu saya meminjam uang dari orang-orang, dan mereka kemudian datang dan mengambil saya.

Kami tidak punya siapa-siapa.

Ini kakak tertua saya. Ini ibu saya.

Kami punya utang yang harus dibayar. Ibu harus menyerahkan saya kepada mereka.

Saya menangis. Saya ingin ada orang yang membantu. Tapi kami tidak punya pilihan. Pemberi pinjaman menekan kami.

Lalu mereka berkata kepada ibu saya, “Jika kamu tidak punya uang untuk membayar, serahkan putrimu.”

Ketika menikah, saya menangis.

Dua bulan lalu, saya kembali pulang ke rumah ibuku.

Keluarga suami saya menuntut saya untuk banyak bekerja. Tetapi saya tidak tahu bagaimana melakukan pekerjaan (rumah tangga) itu.

Itulah mengapa saya datang ke sini. Ibu saya mengajari saya cara melakukan pekerjaan itu.

Hidupku sama seperti sebelumnya. Saya biasanya keluar rumah pada pagi atau sore hari untuk mengumpulkan kayu bakar dan kertas bekas.

Bahkan pada hari pernikahan saya, saya mengumpulkan logam dan kertas. Saya menjualnya seharga 10 atau 20 afghani (sekitar Rp. 3.700). Ada hari-hari di mana saya bahkan tidak bisa memperoleh 1 afghani (Rp. 180).

Setiap kali saya menghasilkan uang, saya bisa membeli makanan untuk saudara-saudara perempuan dan laki-laki saya.

Jika saya membawa roti, mereka makan. Jika tidak, mereka duduk lapar dan haus tanpa ada makanan apa pun.

Kami juga bekerja sebagai buruh untuk orang lain. Kadang kami mendapat 20 afghani, 50 afghani.

Saya menderita asma. Kalau udara dingin, saya tidak bisa bernapas.

Ketika udara mulai dingin, saya tidak bisa bernapas. Saya harus berbaring. Kemudian, saya merasa kesal seperti memendam perasaan yang membara di dalam hati.

Saya merasa hati saya terbakar.

Perspektif global

Persentase perempuan yang menikah sebelum umur 18
10% 20% 30% 40% 50% 60%
Peta

Amerika Serikat

6.2

Tingkat perempuan yang menikah sebelum umur 18 per 1.000 orang.

(That's about .6%
of 15- to 17-year-olds .)

Istilah ‘kawin anak’ mengacu pada perkawinan formal dan informal di mana seorang anak perempuan atau laki-laki tinggal bersama pasangannya seolah-olah menikah sebelum usia 18 tahun. ‘Perkawinan informal’ adalah perkawinan di mana suatu pasangan hidup bersama tanpa upacara sipil atau keagamaan secara resmi. Grafik kami berdasarkan informasi PBB. Sumber utama adalah sensus nasional dan survei rumah tangga, termasuk Survei Indikator Sosial atau Multiple Indicator Cluster Surveys (MICS) dan Survei Demografis dan Kesehatan atau Demographic and Health Surveys (DHS). Survei-survei ini mungkin mengandung kesalahan pada pengambilan sampel dan pengukuran data. Kami menggunakan angka perkawinan anak dan populasi PBB untuk memperkirakan berapa banyak perempuan di masing-masing negara yang menikah sebelum berusia 15 tahun dan sebelum berusia 18 tahun.

Sumber: “World Population Prospects: The 2017 Revision, DVD Edition”. The United Nations Department of Economic and Social Affairs, Population Division (2017)

“Child Marriage Database.” UNICEF (March 2018)