Indonesia

‘Orang tua saya kira laki-laki ini akan merawat saya’

Bersekolah di kampungnya di Jawa Barat membuat Rasminah gembira. Tetapi ketika ia berusia 13 tahun, ibunya mengatakan bahwa keluarga mereka tidak lagi dapat membiayainya atau bahkan memenuhi kebutuhan dasar baginya, dan ia harus segera kawin.

Rasminah menangis.

“Saya tidak melawan karena saya kasih pada kedua orang tua saya,” ujar Rasminah. “Orang tua saya mengira laki-laki ini akan merawat saya.”

Setelah menikah selama dua tahun, pada ulang tahun pertama putri mereka, laki-laki itu meninggalkannya.

Dalam Angka

Indonesia

14%1%
Menikah pada umur 18Menikah pada umur 15

Menurut UNICEF, tingkat kawin anak di Indonesia menurun dari generasi ke generasi. Tahun 2000 sekitar 1 dari 4 perempuan menikah di bawah umur, sementara pada sekitar tahun 1980an 2 dari 4 perempuan menikah dini.

Perbandingan regionalMenikah
pada umur 18
Laos35%
Thailand23%
Timor Leste19%
Kamboja19%
Myanmar (Burma)16%
Filipina15%
Indonesia14%
Vietnam11%

Pilih satu negara untuk melihat perbandingannya dengan negara lain di kawasan tersebut.

Ibu Rasminah mencarikan laki-laki lain dan menikahkannya untuk kedua kalinya. Suami kedua ini kerap menyuruh Rasminah bekerja di sawah, di mana pada suatu hari seekor ular menyerang kaki kanannya hingga lumpuh. Setelah menikah selama dua tahun dan memiliki satu anak, laki-laki itu pun meninggalkannya.

Ibu Rasminah kemudian memilih laki-laki lain untuk menikahi putrinya. Ketika menikah untuk ketiga kalinya ini, Rasminah berusia 19 tahun, sementara laki-laki itu berusia 47 tahun. Perkawinan ketiga ini membuahkan dua anak. Mereka bersama hingga suaminya meninggal karena sakit pada usia 54 tahun. Kemudian pada usia 26 tahun Rasminah menikah dengan suami keempat, yang bersamanya hingga sekarang.

Rasminah kini memiliki lima anak. Putri tertuanya, yang menyaksikan perjuangan Rasminah sebagai pengantin dan ibu muda yang rentan, menolak lamaran pacarnya ketika ia berusia 17 tahun.

“Ia mengatakan kepadanya, ibu saya adalah korban kawin anak. Saya ingin menyelesaikan sekolah dan mencari pekerjaan yang baik. Saya ingin punya penghasilan sendiri,” ujar Rasminah, yang kini merasa sangat bangga dengan ketegasan sikap putrinya. “Ia paham dampak kawin muda,” tambahnya.

Foto Rasminah berdiri di pintu antara dapur dan kamar tidurnya.

Rasminah berusia 13 tahun ketika ia dipaksa kawin. Setelah menikah dengan empat suami dan melahirkan lima anak, ia kini berjuang melawan kawin anak. (Foto oleh Gembong Nusantara untuk VOA News)

Rasminah berusia 13 tahun ketika ia dipaksa kawin. Setelah menikah dengan empat suami dan melahirkan lima anak, ia kini berjuang melawan kawin anak. (Foto oleh Gembong Nusantara untuk VOA News)

Foto Rasminah, tengah, dan suaminya Runata, dengan empat anaknya.

Rasminah, tengah, dan suaminya Runata, dengan empat dari lima anaknya, yang berusia antara 2 sampai 19 tahun.

Foto Rasminah dengan kruk sambil memegang cangkul.

Rasminah berjalan dengan kruk sambil memegang cangkul. Kakinya digigit ular dan lumpuh.

LEFT: Rasminah, tengah, dan suaminya Runata, dengan empat dari lima anaknya, yang berusia antara 2 sampai 19 tahun. RIGHT: Rasminah berjalan dengan kruk sambil memegang cangkul. Kakinya digigit ular dan lumpuh.

Pejuang

Pengalaman Rasminah telah mendorongnya menjadi pejuang yang menentang kawin dini. Pada tahun 2018, Rasminah dan dua korban kawin anak lainnya, Endang Wasrinah dan Maryati, untuk kedua kalinya mengajukan judicial review UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Meskipun UU Perkawinan tahun 1974 menetapkan usia 21 sebagai umur minimum, UU tersebut masih mengijinkan laki-laki menikah pada usia 19 tahun dan perempuan pada usia 16 tahun asalkan orang tua mereka memberikan ijin — dan bahkan jika usia mereka lebih muda asalkan pengadilan agama atau pejabat setempat menyetujui permintaan orang tua untuk menikahkan anaknya. Mahkamah Konstitusi setuju bahwa UU yang berlaku saat ini diskriminatif karena membatasi hak konstitusional anak-anak perempuan untuk mendapatkan pendidikan dan memerintahkan legislator untuk merevisi UU tersebut dalam tiga tahun.

Di Indonesia, 14% perempuan berusia antara 20 hingga 24 pernah menikah pertama ketika mereka mencapai usia 18, menurut UNICEF (Secara global, 20% perempuan menikah ketika mencapai usia 18 tahun). PBB menganggap pernikahan yang dilakukan sebelum berusia 18 tahun sebagai pelanggaran HAM, yang mengancam kesehatan dan pendidikan anak perempuan, membatasi prospek mereka, keluarga dan negara. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB menyerukan diakhirinya praktik kawin anak selambat-lambatnya pada tahun 2030.

Tantangan rumit

Berbagai upaya untuk mengakhiri kawin anak di Indonesia menemui hambatan karena terkait budaya, sosial, hukum dan agama, yang beranekaragam di tiap lingkungan masyarakat. Lebih dari 269 juta warga tinggal di 18.000 pulau dan menggunakan lebih dari 300 bahasa. Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk Muslim terbanyak di dunia – yaitu lebih dari 209 juta – tetapi mengakui lima agama lain, selain Islam. Indonesia juga memiliki lebih dari 1.000 suku masyarakat asli.

Meskipun Indonesia sudah memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, banyak aturan yang didasarkan pada adat, sistem hukum yang didasarkan pada hukum Belanda, dan kebiasaan lokal kelompok suku asli. Batasan usia minimum dan konsep persetujuan untuk menikah tergantung pada adat dan di mana keluarga itu tinggal. Di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, di mana pemimpin keluarga dan agama masih mempertahankan praktik perjodohan, “kultur kolektivitas” berarti orang tua kerap “tidak dapat menolak perjodohan,” ujar Dr. Ida Ruwaida, sosiolog di Universitas Indonesia, kepada VOA.

Foto Rasminah melipat kain sambil duduk di kasur.

“Saya tidak protes karena kasihan dengan orang tua saya. Orang tua saya mengira laki-laki ini akan merawat saya.”

Kini berusia 36 tahun, Rasminah mengurus rumah tangga, sementara suaminya bekerja sebagai buruh tani.

Di kalangan warga Muslim, menikah sebelum batas usia yang ditetapkan tersebar luas. Menurut Mahkamah Agung Indonesia, pada tahun 2018 pengadilan agama mengeluarkan 13.251 dispensasi untuk menikah.

Plan International Australia, yang mengkaji anak-anak yang terpinggirkan di Indonesia, mengatakan lebih dari 90% mereka yang mengajukan dispensasi, dikabulkan. UNICEF mendapati bahwa 97 dari setiap 100 permohonan dispensasi di tiga kabupaten: Tuban di Jawa Timur, Bogor di Jawa Barat dan Mamuju di Sulawesi Barat – dikabulkan.

Pengadilan agama kerap mendasari keputusannya pada permulaan menstruasi, yang meningkatkan risiko pengantin yang lebih muda. Rata-rata usia anak perempuan Indonesia yang mendapatkan menstruasi untuk pertama kali turun dari 13,6 tahun pada 2010 menjadi 14,4 empat dekade kemudian, demikian menurut data pemerintah yang dilaporkan ke National Institutes of Health di Amerika. Di luar pengadilan agama, karena hampir sepertiga anak Indonesia tidak memiliki akte kelahiran, maka orang dewasa kerap menyuap pejabat setempat untuk memalsukan akte kelahiran dan pernikahan. Dengan mengabaikan ketentuan usia, mereka tidak perlu ijin pengadilan.

Foto Rasminah beristirahat di atas kasur dengan dua anak perempuannya.

Rasminah tengah beristirahat dengan dua anak perempuannya. Anak perempuannya yang tertua, menolak lamaran pacarnya ketika dia berusia 17 tahun.

Tentangan

Sebagian tokoh perempuan menentang kawin anak. Pada tahun 2017, sejumlah ulama perempuan di Indonesia mengeluarkan fatwa yang tidak mengikat terhadap kawin anak.

Di propinsi-propinsi seperti Lombok dan Madura, “Ibu Nyai” (istri kiai yang memimpin suatu pesantren) bisa menjadi orang yang pasang badan ketika berhadapan dengan kultur dan orang tua yang memaksa anak untuk kawin, terutama pada musim libur sekolah.

Aktivis Muslim dan antropolog Lies Marcoes-Natsir mengatakan “ibu Nyai” tidak saja bernegosiasi dengan orang tua, tetapi juga dengan komunitas masyarakat di mana orang tua berada, yang mengkondisikan kawin anak itu. Bagusnya di pesantren – dan berbeda dengan sekolah umum – biasanya di akhir negosiasi, jika si Ibu Nyai “kalah”, ia akan mengijinkan anak dijemput untuk dikawinkan, tetapi mendesak supaya anak diijinkan kembali lagi untuk menyelesaikan pendidikannya. Artinya sang anak tetap bisa melanjutkan sekolah. Tetapi tak jarang keluarga membatalkan perkawinan.

“Pertanyaannya kini adalah seberapa besar kapasitas yang dimiliki pemimpin-pemimpin seperti Ibu Nyai untuk mencegah kawin anak? Berapa banyak anak yang dapat dilindungi?”

Tahun 2015 lalu, Mahkamah Konstitusi MK menolak juidicial review UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 dengan mengatakan anak perempuan seharusnya diijinkan kawin guna mencegah hubungan seks di luar nikah dan lahirnya bayi-bayi tidak sah. Tetapi pada 14 Desember 2018, MK mengeluarkan putusan yang berpihak pada Rasminah dan kedua korban kawin anak lainnya. Koalisi Untuk Mengakhiri Kawin Anak menilai dengan mengijinkan anak perempuan kawin sebelum usia 16 tahun, maka undang-undang itu melanggar hak konstitusional mereka untuk mendapat pendidikan. Jika UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 ini direvisi hingga selambat-lambatnya pada tahun 2021, maka harus “diharmonisasikan dengan UU Perlindungan Anak Tahun 2002,” demikian ujar Saldi Isra, hakim yang menjelaskan keputusan pengadilan itu. UU Perlindungan Anak mendefinisikan anak sebagai seseorang yang berusia di bawah 18 tahun, sehingga harmonisasi ini akan secara efektif melarang anak perempuan yang berusia di bawah 16 tahun untuk menikah.

“Perubahan ini penting karena di tingkat masyarakat, Kantor Urusan Agama KUA berperan besar untuk menentukan apakah pasangan laki-laki dan perempuan itu dapat menikah atau tidak,” ujar Aditya Septiansyah, manajer program Yes I Do Project - satu program anti-kawin anak yang didanai oleh Kementerian Luar Negeri Belanda, bekerjasama dengan tujuh negara, termasuk Indonesia.

“Dengan mengubah undang-undang di tingkat nasional, mereka punya alasan untuk menolak permohonan menikah,” tambahnya.

Perjuangan Rasminah menolak adat istiadat setempat mungkin menjadi salah satu metode yang efektif dalam kampanye menentang kawin anak di Indonesia.

Rasminah, tengah, bersama dua korban kawin anak lainnya, meninggalkan pengadilan.

Rasminah, tengah, bersama dua korban kawin anak lainnya, meninggalkan pengadilan pada 13 Desember 2018, setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan UU Perkawinan Indonesia melanggar hak asasi anak perempuan untuk mendapatkan pendidikan. (VOA News)

Dini Widiastuti, Direktur Eksekutif Yayasan Plan International Indonesia, mengatakan kampanye yang sukses membutuhkan mitra lokal yang memahami budaya dan nuansa budaya daerah. Terlatih dalam UU Perlindungan Anak dan sering mendapat mandat dari pemimpin desa atau aktivis lokal untuk berafiliasi dengan kelompok seperti Dini untuk memberi tekanan yang akurat.

“Hanya tokoh-tokoh masyarakat – ulama dan kepala desa – yang dapat mengubah budaya ini,” ujar Dini. Orang yang berupaya mengubah hal itu dari luar masyarakat tersebut “menjadi kontra-produktif.”

Foto Megawati Megawati Dipaksa menikah ketika masih berusia 16 tahun

Megawati yang tinggal di suatu desa di pedalaman Lombok, adalah salah seorang warga lokal yang dimaksud. Megawati memuji Institut Kapal Perempuan yang membantunya memahami mengapa kisah hidupnya dapat memberdayakan pihak lain.

Megawati mengatakan keluarganya memaksanya menikah pertama kali ketika ia baru berusia 16 tahun.

“Saya diolok-olok karena ‘tidak laku,” ujar mantan korban kawin anak yang kini menjadi aktivis itu. “Jadi saya harus menikah atau menjadi pergunjingan di desa, yang berarti mempermalukan keluarga saya.”

Ibu Megawati lah yang memilihkan suami baginya.

“Perkawinan tidak seindah yang digambarkan pada saya,”ujar Megawati.

Ia rindu bersekolah dan kerap bertengkar dengan suaminya tentang uang dan campur tangan keluarga, yang terjadi tak lama setelah mereka menikah. Suaminya kerap memukulinya. Konflik itu mulai berkurang seiring bertambah dewasanya mereka. Ketika mendekati usia perkawinan 10 tahun, Megawati sudah bisa tertawa mengenang perubahan besar hubungan mereka.

Maret lalu ia berhasil membatalkan rencana perkawinan seorang anak perempuan berusia 12 tahun dengan seorang “tokoh lokal berpengaruh,” yang usianya tidak disebut karena keduanya sudah berhubungan seksual.

“Selama beberapa hari saya berusaha meyakinkan anak perempuan itu dan keluarganya bahwa kondisi akan memburuk jika mereka memaksa anak itu menikah. Ini benar-benar rumit. Saya harus menunjukkan kepada keluarganya, dampak kawin muda. Seperti saya ini!” ujar Megawati, yang baru saja melahirkan anak ketiga Agustus lalu. “Setelah itu saya bicara pada calon pengantin laki-laki. Saya berusaha menyelamatkan mukanya dengan mengatakan ia dapat menjadi pahlawan jika berhasil mendorong anak perempuan yang akan dikawininya untuk menyelesaikan sekolah terlebih dulu, baru kemudian menikah.”

“Coba Anda bayangkan, pada usia kehamilan sembilan bulan saya masih datang kesana kemari,” ujar Megawati, yang putrinya lahir tak lama setelah ia berusaha menangguhkan perkawinan itu.

Ini merupakan contoh terbaru tentang dampak Megawati. Sejumlah pemimpin lokal kerap meminta Megawati berbicara tentang dampak kawin anak, betapa sedianya anak laki-laki dan perempuan tidak segera menikah setelah memasuki masa pubertas. Ia juga menyampaikan hal yang sama kepada gubernur dan walikota Lombok, di Nusa Tenggara Barat.

Untuk menjelaskan dampak buruk kawin anak, ujar Megawati, “saya hanya menyampaikan apa yang saya alami. Betapa saya merindukan sekolah dan teman-teman saya. Megapa saya berharap dapat menyelesaikan sekolah dan mendapat pekerjaan yang baik karena saya ingin anak saya bisa punya masa depan yang lebih baik.”

Megawati membuka matanya dan mengatakan “kami butuh ijazah, bukan buku nih.”

Perspektif global

Persentase perempuan yang menikah sebelum umur 18
10% 20% 30% 40% 50% 60%
Peta

Amerika Serikat

6.2

Tingkat perempuan yang menikah sebelum umur 18 per 1.000 orang.

(That's about .6%
of 15- to 17-year-olds .)

Istilah ‘kawin anak’ mengacu pada perkawinan formal dan informal di mana seorang anak perempuan atau laki-laki tinggal bersama pasangannya seolah-olah menikah sebelum usia 18 tahun. ‘Perkawinan informal’ adalah perkawinan di mana suatu pasangan hidup bersama tanpa upacara sipil atau keagamaan secara resmi. Grafik kami berdasarkan informasi PBB. Sumber utama adalah sensus nasional dan survei rumah tangga, termasuk Survei Indikator Sosial atau Multiple Indicator Cluster Surveys (MICS) dan Survei Demografis dan Kesehatan atau Demographic and Health Surveys (DHS). Survei-survei ini mungkin mengandung kesalahan pada pengambilan sampel dan pengukuran data. Kami menggunakan angka perkawinan anak dan populasi PBB untuk memperkirakan berapa banyak perempuan di masing-masing negara yang menikah sebelum berusia 15 tahun dan sebelum berusia 18 tahun.

Sumber: “World Population Prospects: The 2017 Revision, DVD Edition”. The United Nations Department of Economic and Social Affairs, Population Division (2017)

“Child Marriage Database.” UNICEF (March 2018)