Pengungsi, Pencari Suaka Bicara Tentang Persekusi di China
Mike O’Sullivan | VOA News
Represi politik menyebabkan ribuan orang China mencari suaka di negara-negara di luar China, termasuk Amerika Serikat, setiap tahunnya, dengan alasan persekusi atau ketakutan akan dipersekusi berdasarkan ras, agama, kebangsaan, pendapat politik atau faktor lainnya.
Bugra Arkin punya restoran Uyghur di Los Angeles. Ia mempelajari kebijakan publik di Amerika Serikat dan merupakan seorang etnis Muslim Uyghur dari provinsi Xinjiang, China, di mana lebih dari 1 juta Muslim Uyghur, termasuk ayahnya, seorang penerbit, ditahan di kamp re-edukasi. Amerika Serikat dan kelompok hak asasi manusia menyebut penindasan China terhadap Uyghur dan budaya mereka sebagai sebuah genosida.
“Pada 2018, ayah dan paman saya, sepupu saya, beberapa teman saya, mereka menghilang. Dan saya bersama mereka dibawa ke kamp konsentrasi,” kata Arkin.
Tapi keluarganya tidak bisa mendapatkan informasi apapun, dan tidak ada pengacara China yang mau membantu.
Arkin yang kini tinggal di Los Angeles menerima suaka pada 2018. Istrinya, yang juga seorang Uyghur, adalah pengacara yang dididik di AS dan bergabung dengan Angkatan Udara AS. Tapi pasangan itu masih menerima ancaman lewat telepon dari seseorang yang berbicara bahasa China, dua kali dalam tahun ini.
“Ia mengancam saya, bahkan mengancam mati putri saya yang berusia 2 tahun. Ia bilang, ‘Kami mengawasi kalian; kami akan membunuh kalian. Kalian akan mati.’”
Ia disuruh bungkam tapi ia bilang tidak akan menurutinya.
“Justru ini memberikan saya keberanian untuk berbicara demi ayah saya dan saudara Uyghur saya,” kata Arkin.
Seorang lainnya yang juga mengajukan suaka, Jie Lijian, juga menerima telepon berisi ancaman yang mengatakan China mengawasi mereka dan memaksa mereka untuk bungkam.
Di China, dia berkali-kali dipenjara, disundut rokok dan dipukuli hingga giginya tanggal. Semuanya jelas terekam dalam ingatannya, kata aktivis politik dari provinsi Shandong itu. Ia mengenang pernah dipaksa tinggal di rumah sakit jiwa dua kali dan disiksa di kantor polisi pada 2009.
“Ketika sampai di kantor polisi, mereka dorong kepala saya ke tangki air besar,” kata Jie. “Saya pikir mereka mengikuti pelatihan untuk hal seperti ini. Mereka tidak akan membiarkanmu mati tapi kamu juga tidak akan merasa baik. Mereka akan buatmu sengsara, sampai kamu merasa tercekik dan di ambang kematian.”
Antara 2015 dan 2018, Jie ikut memperingati pembantaian Tiananmen di China pada 4 Juni 1989. Ia kembali ditahan dan disiksa setelah kembali ke China daratan.
“Pemerintah China akan menyiksa warganya menggunakan cara apapun,” kata Jie. “Kamu dibunuh, disiksa sampai cacat. Kalau kamu menuduh mereka melakukan pelanggaran, mereka akan terus menangkap kamu, dan kamu ditempatkan di penjara (atau) di rumah sakit jiwa.”
China membantah menyiksa mereka yang ditahan, tapi kelompok hak asasi manusia telah mendokumentasikan penyiksaan yang dilakukan oleh para tersangka kriminal dan aktivis dan penahanan massal etnis Uyghur.
Keduanya khawatir akan nasib keluarga mereka di China, tapi mereka mengatakan terdorong untuk berbicara karena penderitaan yang mereka alami.
“Ia mengancam saya, bahkan mengancam mati putri saya yang berusia 2 tahun. Ia bilang, ‘kami mengawasi kalian; kami akan membunuh kalian. Kalian akan mati.’ ”