Warga Hong Kong dan China daratan adalah bagian dari eksodus. Beberapa ingin melarikan diri dari penganiayaan, sementara lainnya mencari kesempatan baru bagi keluarga mereka di negara lain. Negara tujuan mereka bervariasi, ada yang pindah ke Taiwan dan ada juga yang pergi hingga ke Ekuador.
Sekitar 89.200 orang, lebih dari 1% populasi Hong Kong — meninggalkan Hong Kong antara pertengahan 2020 dan pertengahan 2021, menurut data Departemen Sensus dan Statistik Hong Kong.
“Kualitas hidup di Hong Kong kelihatannya menurun, makanya saya mencari tempat yang lebih baik di mana saya bisa hidup lebih bahagia,” seorang warga Hong Kong Edwin Lai mengatakan pada VOA di pameran imigrasi di Hong Kong.
Sebuah undang-undang keamanan nasional baru saja disahkan di Hong Kong pada pertengahan 2020 setelah protes anti pemerintah yang berlangsung selama berbulan-bulan.
“Banyak pembatasan yang diterapkan di banyak bidang, mulai dari kebebasan berbicara hingga pendidikan. Ada banyak pembatasan dan undang-undang dan peraturan baru yang ditetapkan,” kata Lai.
Warga Hong Kong semakin banyak yang pindah ke Taiwan, menurut informasi dari Badan Imigrasi Nasional Taiwan.
“Saya harus meninggalkan Hong Kong demi bisa menyuarakan pendapat saya secara independen,” seniman visual Kacey Wong mengatakan pada VOA. “Tidak ada yang mau hidup di kota yang terus-menerus membuat kita takut.”
Lebih dari 10.000 orang pindah dari Hong Kong ke Taiwan pada 2020, jumlah terbanyak dalam sejarah dan hampir dua kali lipat dari 2019. Relokasi serupa terus berlangsung pada 2021, dengan lebih dari 5.000 orang pindah pada tujuh bulan pertama di tahun itu, menurut Badan Imigrasi Nasional Taiwan.
Tujuan relokasi yang lebih populer adalah Inggris. Pada paruh pertama 2021, lebih dari 65.000 warga Hong Kong mendaftar untuk pindah ke negara itu.
Tahun lalu, Inggris meluncurkan program visa baru — visa British National (Overseas) (visa BNO) — yang bisa digunakan oleh warga Hong Kong dan keluarganya yang mempunyai paspor BNO. Sekitar 5,4 juta orang memenuhi syarat untuk program ini.
Mike dan Ivy Lam mengajukan visa BNO dan pindah dengan putra mereka yang berusia 11 tahun dari Hong Kong ke Inggris pada Desember 2020.
“Kami harus mempertimbangkan, ‘Apakah Hong Kong masih aman untuk jadi tempat tinggal? Apakah Hong Kong memberikan masa depan yang cerah bagi anak-anak?’” kata Mike Lam pada VOA. “Keadaan di Hong Kong memburuk dengan sangat cepat. Dan memaksa kami untuk mengambil keputusan dengan cepat.”
Jumlah orang dari China yang mencari suaka di seluruh dunia meningkat tajam dalam dekade terakhir, dari 7.732 pada 2010 menjadi 108.071 pada 2020, menurut data dari Kantor Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi.
Sumber: UNHCR
Banyak orang yang melarikan diri khawatir China akan berusaha mempersekusi mereka setelah meninggalkan negara itu. Orang-orang ini termasuk orang Uyghur, kelompok yang terdiri dari sebagian besar Muslim Turki yang tinggal di kawasan Xinjiang di China.
Turki dianggap sebagai tempat berlindung bagi pengungsi Uyghur yang melarikan diri dari pusat detensi China yang disebut Human Rights Watch sebagai “kejahatan kemanusiaan.” Sekitar 50.000 orang Uyghur tinggal di negara Asia barat tersebut.
China membantah menyiksa orang Uyghur. Pada Agustus 2020, media pemerintah China CGTN menggambarkan pusat detensi tersebut sebagai “pusat pelatihan dan pendidikan kejuruan, yang dibangun untuk menjauhkan orang-orang dari ekstremisme agama.”
Sementara Turki dan China memperkuat hubungan ekonomi dan keamanan, keluarga Uyghur di Turki dan pengacara mereka mengatakan komunitas Uyghur mengalami semakin banyak ancaman dan mereka khawatir Turki ditekan untuk menghukum dan mendeportasi aktivis Uyghur.
Enver Turdi melaporkan berita di Xinjiang dan terus menyuarakan pelanggaran hak asasi manusia di China, bahkan setelah setahun ditahan di Turki. (VOA News)
Enver Turdi, seorang Uyghur, mengatakan ia terus-menerus diawasi di Turki, di mana ia ditahan selama setahun. Di Xinjiang, ia melaporkan berita tentang pelanggaran hak asasi manusia di China, dan terus melakukannya dari Turki.
“Turki menahan dan menginvestigasi orang-orang selama berbulan-bulan atau setahun dan tidak menemukan apa-apa. Begitu mereka mendapatkan informasi yang benar, mereka membebaskan mereka. Sudah tiga tahun dan saya masih diinvestigasi. China tidak bisa memberikan bukti,” kata Turdi pada VOA.
Sejak 2017, pemerintah China telah menahan sedikitnya 1 juta orang yang sebagian besar Muslim Uyghur dari kawasan Xinjiang, menurut Amnesty International.
Amerika Serikat dan kelompok hak asasi manusia mengatakan perlakuan China terhadap orang Uyghur setara dengan genosida.
Bugra Arkin, seorang etnis Muslim Uyghur dari Xinjiang, menerima suaka di Amerika Serikat pada 2018, tahun yang sama pihak berwenang menahan orang-orang terdekatnya di pusat detensi.
“Pada 2018, ayah dan paman saya, sepupu saya, beberapa teman saya, mereka menghilang, dan mereka dibawa ke kamp konsentrasi,” kata Arkin pada VOA.
Ia mengatakan tahun ini, seseorang berbahasa China dua kali mengancamnya dan istrinya lewat telepon.
“Dia mengancam saya, bahkan juga mengancam mati putri saya yang berusia 2 tahun,” kata Arkin. “Ia bilang, ‘Kami mengawasi kalian. Kami akan membunuh kalian. Kalian akan mati.’”
Fatima Abdulghafur, yang lahir di Xinjiang, mengatakan pada VOA ia pindah dari China mencari kebebasan. Abdulghafur, yang sedang belajar untuk mendapatkan gelar doktor di bidang geofisika, tinggal di Amerika Serikat dan kemudian pindah ke Australia, menikah dan tinggal di negara tersebut yang ditempati oleh lebih 650.000 imigran yang lahir di China.
Abdulghafur mengatakan saudara laki-lakinya adalah salah satu dari orang Uyghur yang ditahan di kamp, seperti ayahnya, yang meninggal di sana.
“Saya meninggalkan China karena saya melihat saya mungkin jadi budak selamanya,” ujarnya.
Sumber: UNHCR
Di Ekuador, Milly, mantan guru Bahasa Inggris dari China yang minta agar nama lengkapnya tidak disebut, mengatakan pada VOA 80% hingga 90% orang yang meninggalkan China mengatakan mereka pergi karena “takut hidup di masyarakat itu.” Karena banyak imigran yang masih punya keluarga di China, ketakutan itu tetap ada bahkan setelah mereka meninggalkan negara itu, ujarnya.
Milly, yang mengurusi imigran dari China di Ekuador, mengatakan ketidakpastian ekonomi dan politik juga alasan utama yang membuat orang meninggalkan China.
“Banyak klien saya yang takut Renminbi mereka (mata uang China) tidak akan ada harganya, jadi mereka menukar semua RMB ke dolar dan menyimpannya di rumah,” katanya pada VOA. “Beberapa dari mereka takut China akan kembali pada model ekonomi terencana. Khususnya bagi generasi yang pernah mengalami masa-masa gelap itu, mereka takut properti milik mereka akan disita.”
Hua Yong, adalah seorang seniman Beijing yang merupakan salah satu pencari suaka di Kanada. Ia membuat video yang mendokumentasikan penderitaan rakyat China yang paling miskin yang diusir dari tempat tinggal mereka. Ia mengatakan pernah beberapa kali ditangkap dan ditahan di China akibat karya seninya. Pihak berwenang China juga menempatkannya pada program “re-edukasi lewat bekerja” selama 15 bulan.
“Karena karya seni saya, saya dipenjara dan disiksa oleh pemerintah, jadi saya tidak punya pilihan lain selain meninggalkan tanah air saya,” kata Hua pada VOA.
Tempat tujuan lain yang banyak diincar adalah Pulau Prince Edward yang merupakan bagian dari Kanada. Provinsi terkecil negara tersebut mengalami peningkatan populasi terbesar tahun ini. Karena beberapa alasan, termasuk kurangnya tenaga kerja, pulau yang terletak di bagian timur Kanada itu mencoba menarik imigran, dan 4% dari imigran yang kerja atau datang untuk kerja di sana pada 2020 dan 2021 berasal dari China.
Emily Pei pindah ke Kanada 12 tahun lalu. (VOA News)
Emily Pei menikah dengan orang Kanada dan pindah ke negara itu 12 tahun yang lalu, dan kini ia membantu imigran dari China dan dari negara lainnya yang ingin tinggal dan kerja di Pulau Prince Edward. Ia mengatakan pada VOA banyak imigran yang ia kenal pindah demi pendidikan anak-anak mereka.
Jeff Young, direktur kantor imigrasi Pulau Prince Edward, mengatakan pada VOA tempat itu menarik bagi imigran China dan mereka mau pindah ke sana demi anak-anak mereka.
“Saya pikir mereka melihat Pulau Prince Edward sebagai tempat yang aman. Mereka mencari tempat yang lebih tenang. Hal sederhana seperti ‘udara segar.’ Kami sering dengar itu dari mereka,” ujarnya.
Pei mengatakan kawasan itu telah berubah secara positif bagi komunitas China sejak ia pindah ke Pulau Prince Edward.
“Dibandingkan 10 tahun lalu, sekarang jauh lebih baik, ada supermarket China. Sebelumnya hanya ada satu atau dua, tapi sekarang, mungkin ada lima atau enam. Artinya, komunitas China berkembang.”