Laporan Khusus VOA

Memilah Fiksi dan Fakta

Sudah hampir setahun anak-anak ini meninggalkan kampung halaman mereka di pegunungan Nduga akibat meningkatnya ketegangan, pasca pembunuhan 19 pekerja pembangun jalan Trans-Papua oleh sayap militer Organisasi Papua Merdeka.

Mereka terpaksa meneruskan belajar di sekolah darurat di Wamena, yang khusus didirikan untuk membantu keluarga-keluarga yang hengkang dari Nduga.

Loranus yang dulunya belajar di SMP Mapenduma, adalah salah satu murid yang terpaksa belajar di sekolah darurat Weneroma karena tidak bisa pulang ke kampung halamannya. “Kami tidak bisa kembali ke kampung kami. Kami siap untuk belajar di sini saja.”

Konflik Papua dan Kinerja Pers Papua

Akar konflik Papua terjadi sejak kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Pada tahun 1949 saat Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, Belanda menolak menyerahkan Papua. Indonesia di bawah Soekarno terus memperjuangkan Papua menjadi bagian Indonesia hingga akhirnya pada tahun 1969, Indonesia di bawah pengawasan PBB melakukan Penentuan Pendapat Rakyat Papua (Pepera) dengan hasil 1025 perwakilan memilih bergabung dengan Indonesia.

Namun sejak itu, suara menolak Pepera dan mengumandangkan kemerdekaan Papua, tak pernah berhenti.

Konflik ini berdampak jelas pada kinerja Pers Papua karena adanya rasa saling curiga antara pekerja media dan pemerintah.

Hali ini diakui oleh Victor Mambor, aktivis media dan juga pendiri JUBI, media lokal Papua yang sering dianggap berseberangan dengan suara pemerintah. “Kami ini terutama para wartawan lokal mengalami kesulitan melakukan peliputan terutama yang terkait demo soal Papua Merdeka,” ujarnya.

Suasana kantor redaksi Tabloid JUBI di Jayapura, Agustus 2019. (Alam Burhanan | VOA)

Kesulitan untuk melakukan peliputan juga diakui oleh Arnold Belau, pendiri Suara Papua, yang sering menyuarakan berita berbeda dengan informasi resmi dari pemerintah. Arnold merasa, penampilan fisiknya sebagai warga asli Papua menimbulkan ketidakpercayaan pemerintah yang menganggap mereka pro pada kemerdekaan Papua.

“Kami wartawan lokal sering dianggap bagian dari anggota Gerakan Papua Merdeka. Mereka melihat rambut gimbal dan menganggap hal itu pastilah OPM. Kami juga merasa kesulitan untuk melakukan konfirmasi, terkadang dijawab terkadang tidak,” ungkapnya.

Tak hanya pekerja media lokal Papua, pekerja media yang datang dari Jakarta juga harus menghadapi rasa curiga dari kedua kubu yang bertikai, apalagi bila meliput isu-isu yang genting.

Dhandy Leksono, pembuat film dokumenter yang kerap membahas soal Papua, juga merasakan kesulitan meliput di Papua. “Liputan di Papua itu unik. Kami dicurigai oleh kedua belah pihak. Kami pernah dicegat oleh kelompok asli orang Papua, mereka membawa senjata tajam panah. Tapi di sisi lain, kami juga dicegat aparat keamanan,” paparnya.

Tak hanya media lokal dan nasional, media asing juga mengalami kesulitan serupa bila meliput di Papua.

Heyder Affan, wartawan BBC Indonesia, pernah diusir keluar Papua saat meliput bersama wartawan BBC warganegara Australia. “Ada semacam asumsi bahwa kita datang ke sana (Papua) untuk kepentingan asing, dan tidak cukup penjelasan bahwa posisi kita itu independen dan tidak memihak kepada pemerintah Indonesia atau FPM. Itu sebabnya beberapa kali kita liputan agak mengalami kesulitan karena alasan tersebut,” jelasnya.

Heyder juga menambahkan, wartawan harus memenuhi beberapa persyaratan. “Saat meliput ke Agats, wartawan harus punya izin dari Markas Besar POLRI, bahkan keterangan resmi dari badan intelijen.”

Kekerasan Terhadap Pers di Papua

Bagi wartawan lokal, kecurigaan terhadap pers kadangkala berakhir dengan kekerasan.

Wartawan JUBI yang meliput demo tentang kemerdekaan Papua beberapa kali terkena masalah. ”Ada yang dipukuli, ditangkap, dibully, atau banyak yang secara verbal,” kata Victor Mambor.

Hal ini juga dialami oleh wartawan Suara Papua. Ardi Bayage menceritakan salah satu pengalamannya ketika ia tengah meliput di Nabire pada tahun 2018. “Aparat datang dan langsung tangkap saya dan bilang saya bukan wartawan dan anggap saya demonstran FPM. Kartu pers yang saya tunjukin langsung ditarik dan saya dicekik leher.”

Aliansi Jurnalis Independen mencatat ada 6 kasus kekerasan atau intimidasi terhadap wartawan, yang melibatkan 10 wartawan di sejumlah kota di Papua (Asmat, Manokwari, Nabire, Yahukimo dan Jayapura. Menurut Abdul Manan, Ketua AJI, “Kalau di Papua kan kekerasan paling banyak itu kekerasan fisik dan intimidasi. Misalnya ketika wartawan meliput demonstrasi kadang-kadang aparat keamanan entah dengan sengaja mengabaikan dia wartawan atau tidak akhirnya menjadi korban pemukulan.”

Namun baik polisi maupun tentara menyatakan mereka berkomitmen melindungi masyarakat di Papua, termasuk wartawan.

Kombes Pol A.M. Kamal, Kabid Humas Polda Papua menekankan, “Komitmen kami kuat, jangankan terhadap wartawan, terhadap semua masyarakat juga. Kemarin terjadi kekerasan yang dilakukan oleh teman kami di Merauke terhadap masyarakat. Peristiwanya, keributan terjadi saat sama-sama mabuk, terjadi penganiayaan dan meninggal. Sekarang rekan kami itu masuk penjara.”

Letkol CPL Eko Daryanto, Kapendam Cendrawasih, juga menegaskan komitmen TNI untuk melindungi wartawan. “Sesuai dengan hukum kita, pasti kita hukum. Kita punya Standard Operation Procedure, jadi ketika ada pelanggaran oleh anggota kita, kita tidak ragu-ragu melakukan tindakan hukum pada aparat kita,” jelasnya.

Kebebasan Pers di Papua Masih Rendah

Organisasi Reporters Without Borders mendudukkan status kebebasan pers Indonesia pada peringkat 124 dari 180 negara. Status “Bebas Sebagian” bagi Indonesia tidak terlepas dari sulitnya jurnalis asing mendapat akses peliputan di Papua.

Sementara dalam Indeks Kemerdekaan Pers yang dikeluarkan Dewan Pers, Papua menempati posisi terbawah dengan skor 66,56/100 dan status “Agak Bebas”, meskipun skornya sedikit meningkat dari tahun sebelumnya.

Jayapura selain ibukota provinsi, juga menjadi pusat hampir seluruh media di Papua. (Alam Burhanan | VOA)

Ahmad Djauhar, Ketua Komisi Penelitian, Pendataan & Ratifikasi Pers, Dewan Pers menjelaskan bahwa meskipun peningkatannya belum bisa dikatakan besar, tapi sudah dianggap cukup signifikan. “Artinya pelan tapi pasti ada kebebasan pers di sana, tidak seperti sebelum-sebelumnya. Tapi memang Papua relatif masih rendah kisarannya masih di bawah 70, rata-rata nasional itu 70-an indeksnya,” tambahnya.

Sulitnya Cek Fakta di Papua

Jayapura menjadi basis media di Papua. Wilayah Papua dan Papua Barat yang luas, dan sebagian besar terpencil membuat sulit bagi wartawan untuk melakukan cek fakta.

Menurut Abdul Manan, AJI, keadaan ekonomi media yang tidak terlalu bagus juga mempengaruhi cara operasional media di Papua. Bila ada peristiwa di daerah-daerah terpencil, untuk melakukan verifikasi para wartawan cenderung menghubungi sumber lewat telepon daripada datang langsung ke lokasi, karena faktor biaya. “Akhirnya cenderung kalo berita-berita online mengandalkan telepon, yang itu bisa jadi benar bisa jadi mengandung ketidakbenaran juga,” tambahnya.

Lokasi yang terpencil dan ongkos transportasi yang mahal membuat media sulit untuk melakukan konfirmasi langsung di lapangan. (Ahadian Utama | VOA)

Hal ini juga ditegaskan oleh Makawara da Cunha, wartawan Wone Papua. “Kesulitan kami adalah untuk mendapat akses bila ada peristiwa di daerah pegunungan, daerah pedalaman, kami susah mendapatkan gambar. Ceritanya pun kami dapat dari pihak kedua atau ketiga, jadi tidak bisa bicara langsung dengan pelaku-pelaku,” paparnya.

Gratianus S. Anderson Aba, wartawan Cendrawasih Pos juga mengakui kesulitan mendatangi lokasi untuk pengecekan fakta. “Satu-satunya tranportasi adalah melalui jalur udara, pesawat udara atau helikopter kalau kita bekerjasama dengan TNI dan POLRI,” jelasnya.

Kesulitan ekonomi yang dihadapi oleh media membawa dilema tersendiri. Wartawan menganggap, dengan menumpang transportasi aparat, muncul anggapan informasi yang didapat hanya menyuarakan kepentingan satu pihak.

Victor Mambor mengakui ada rasa hutang budi pada aparat kalau menumpang transportasi mereka. “Terakhir saya ke Nduga itu, saya pulangnya naik helikopter tentara. Jadi wartawan difasilitasi untuk pergi ke Nduga, kalau situasinya seperti itu susah bagi kita untuk membuat liputan. Kita juga akan merasa berhutang budi pada aparat. Jadi kalau kita mau menulis yang tidak baik, tidak bisa,” jelasnya.

Walaupun menurut aparat, upaya mengontrol informasi tidak pernah ada. Seperti yang disampaikan oleh Kol Inf J. Binsar Sianipar, Komandan Korem 172/PWY, “Jadi kalau ada tuduhan begitu saya katakan itu tidak benar. Selama ini semua media yang menulis soal apapun di wilayah distrik Nduga, Wamena, tidak pernah kami kontrol.”

Ia bahkan menjamin aparat tidak pernah menyetir isi berita, “…bahkan kami berikan kebebasan.”

Tabloid JUBI sempat memuat pernyataan sayap militer OPM, dan aparat tidak meminta Jubi untuk menurunkan video tersebut.

Sulitnya cek fakta juga mengakibatkan informasi yang berkembang antara satu pihak dan lainnya bisa jadi sangat berbeda.

VOA mencoba memverifikasi beberapa data, misalnya jumlah pengungsi akibat konflik di Nduga.

Pengungsi asal Nduga di Elekma pada Agustus 2019 mengaku trauma atas konflik bersenjata. (Ahadian Utama | VOA)

DR. Ribka Haluk, Kepala Dinas Sosial Provinsi Papua menyebutkan ada 8.000 pengungsi. Sementara menurut Theo Hasegem, pegiat HAM Papua, pengungsi tersebar di rumah-rumah warga, di sekitar 40 titik, tanpa menyebutkan jumlah pastinya.

Fakta lain yang VOA coba verifikasi adalah jumlah pengungsi yang meninggal dunia.

Menurut Theo, ada sekitar 184, sementara Ribka menyebutkan ada 132 korban sesuai dengan data dari pemerintah daerah Nduga.

Pemblokiran Akses Internet di Papua

Tugas wartawan di Papua menjadi lebih sulit manakala internet padam pasca kerusuhan Agustus 2019.

AJI menyampaikan protes keras ketika pemerintah pemblokiran internet tersebut. “Karena kita menganggap bahwa pemerintah main gampang saja, dengan dalih ingin menangkal hoax supaya tidak terjadi kerusuhan lebih lanjut dengan cara memblokir internet,” ujar Abdul Manan.

AJI menganggap meskipun pemerintah bisa menangkal hoax dengan pemblokiran internet, orang juga dibatasi untuk mendapatkan informasi yang benar. Abdul Manan juga menambahkan, “(pemblokiran internet) mengganggu pekerjaan wartawan yang salah satunya adalah memverifikasi informasi dan menurut kami ini juga merugikan pemerintah. Orang Papua jadi tidak tahu apa yang dilakukan pemerintah menangani kasus ini.”

Dua warga sedang mengakses sinyal telepon sembari melihat pemandangan kota Wamena dari ketinggian kawasan Napua Wamena pada Agustus 2019. (Alam Burhanan | VOA)

Johnny G. Plate, Menteri Kominfo, mengatakan pihaknya melakukan pemblokiran bukan untuk menutupi informasi, tapi untuk membatasi dan mengendalikan transmisi informasi, yang menurutnya banyak berisi informasi hasutan yang membahayakan. “Banyak informasi yang tidak benar yang diedarkan, banyak informasi hasutan yang diedarkan, yang membahayakan, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah? Pemerintah mempunyai tugas mengendalikan itu. Itulah yang terjadi di Papua. Pada saat pengendalian lapangan, ini sudah sulit dilakukan, maka perlu ada juga usaha pembatasan transmisi informasi, pengendalian transmisi informasi, bukan menutupi atau mematikan itu,” paparnya.

Kebebasan Pers di Papua Masih Fatamorgana

Abdul Manan berpendapat pemberitaan yang adil dan berimbang dapat berdampak bagi warga Papua. Menurutnya, kebebasan pers di Papua sangat penting karena akan membantu pemerintah pusat di Jakarta untuk membuat kebijakan yang benar tentang Papua dan juga agar pemerintah Jakarta “mendengar apa aspirasi utama orang Papua”.

Pendapat ini diamini oleh Heyder Affan, wartawan BBC. “Menurut saya kalau wartawan tidak diberikan kebebasan untuk meliput apa adanya, meliput tanpa dikawal tanpa dikontrol, hal itu akan membuat liputan di Papua tidak akan bebas. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap kualitas, terhadap apa yang terjadi di Papua sebenarnya,” jelasnya.

50 tahun setelah Pepera, pentingnya pers bebas bukan lagi menjadi pertanyaan melainkan bagian dari jawaban – solusi bagi Papua.