Catatan Kami
Sengkarut Data Pengungsi Konflik Nduga
Berapa jumlah pengungsi akibat konflik bersenjata di Nduga? Pertanyaan itu sulit dijawab oleh pihak terkait, yang mengakui kesulitan untuk mengetahui jumlah persis pengungsi konflik Nduga akibat berbagai kendala.
Bermula dari dibunuhnya 19 pekerja proyek jalan Trans Papua dari P.T. Istaka Karya di Distrik Yigi, Kabupaten Nduga pada 2 Desember 2018. Pembunuhan dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata pimpinan Egianus Kogoya. TNI dan Polri mengejar kelompok itu dan target untuk mengamankan wilayah Nduga. Terjebak di tengah konflik, warga Nduga mulai mengungsi.
Berapa jumlah pengungsi akibat konflik bersenjata di Nduga? Pertanyaan itu sulit dijawab oleh pihak terkait. Kepala Dinas Sosial Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi Papua DR. Ribka Haluk mengakui adanya kesulitan pendataan jumlah pengungsi secara tepat. Kendala sulitnya menjangkau wilayah karena kondisi alam, terbatasnya akses jalan, kurangnya jumlah personil untuk mendata, dan menyebarnya pengungsi ke beberapa kota adalah sebagian sebabnya. Dia hanya merinci kurang lebih delapan ribu orang.
Suasana pasar Wamena, ramai sekitar pukul sembilan pagi hingga jam 3 siang pada Agustus 2019. (Alam Burhanan | VOA)
Pegiat HAM yang merupakan Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hasegem, juga mengakui kesulitan untuk mengetahui jumlah persis pengungsi konflik Nduga. Dia memperkirakan sekitar 40-an lebih rumah di Wamena dijadikan lokasi penampungan pengungsi di Wamena. Setiap rumah bisa menampung sekitar 10 hingga 12 keluarga. Pengungsi lain di Timika, Yahukimo, Lanny Jaya dan distrik lainnya tak terdata. Masalah kendala, hampir sama seperti yang disampaikan DR. Ribka Haluk.
Tidak ada penampungan pengungsi Nduga, yang ada adalah warga Nduga turun dari wilayah konflik lalu menumpang di rumah-rumah keluarga mereka.
Di Wamena, lokasi penampungan menyebar di sekujur kota. Mereka menempati honai maupun rumah darurat yang dibangun sekedar untuk berlindung dari cuaca dingin dan hujan di Wamena yang cukup kerap.
Kota Wamena yang berbukit dan hijau. (Alam Burhanan | VOA)
Rumah sementara, lantainya tidak berlapis batu atau semen. Tanah dikeraskan dengan diinjak atau dipadatkan. Setelah keras, lalu ditaburi dengan rumput sejenis alang-alang, tebalnya sekitar dua sentimeter. Warga tidur langsung di atas tumpukan rumput atau memberi alas sekedarnya saja.
Rumah semacam inilah yang ditempati oleh mamak Serai dan keluarga. Mereka turun dari kawasan pegunungan di Nduga menuju Wamena. Rasa takut karena suasana perang mendorong mereka meninggalkan kampung. Perlu waktu lebih satu bulan untuk sampai Wamena. Bertahan di gua-gua dengan makanan yang diambil dari hutan. Setelah sulit mendapat makanan, mereka turun dan kemudian tiba di Wamena. Sekarang mereka berbagi rumah darurat bersama sepuluh keluarga lain di Sinakma, Wamena.
Wamena yang merupakan lembah di kawasan pegunungan tengah, udaranya cukup dingin. Suhu berkisar antara 15 hingga 20-an derajat Celcius. Angin gunung dingin sering berhembus kencang. Langit Wamena suka berubah cepat. Terang langit bisa digantikan gelap awan hitam dalam waktu 15 menitan saja.
Tumpukan bantuan makanan dari donatur yang disimpan di ruang serbaguna Gereja Weneroma, Sinakma, Wamena, 2019. (Alam Burhanan | VOA)
Masalah lain, penyaluran bantuan. Dinas Sosial membantu dengan menurunkan bantuan melalui Program Keluarga Harapan. Bantuan akan diserahkan ke keluarga pengungsi. Verifikasi jumlah keluarga pengungsi keseluruhan di kabupaten Jayawijaya membuat efektifitas penyaluran bantuan sulit diukur.
Sedangkan bantuan warga, gereja atau organisasi penyalurannya juga tidak jelas. Mereka bisa menyalurkan langsung ke warga, melalui gereja lokal atau organisasi lain sesuai data dan informasi masing-masing.
Pendeta Williamus Kogoya dari Klasis Yigi membenarkan kesulitan untuk mendapatkan bantuan. Dia bersama jemaatnya turun dan tinggal di Wamena. Bantuan makanan dan obat-obatan sulit didapat katanya. Selama ini lebih banyak mengandalkan bantuan warga maupun dari biaya sendiri.