Catatan Kami

Dari Sekolah Hingga Honai

Suara palu berdentam beradu dengan paku besi dan seng. Di sebelahnya ada ruang-ruang kelas dengan murid yang sedang belajar. Semua, baik tukang dan murid adalah pengungsi dari kabupaten Nduga di Wamena. Mereka seakan beradu waktu untuk menyelesaikan kewajiban masing-masing.

“Sedang bangun gedung, perbaiki karena atap ada bocor,” jelas Asman, saat ditanya sedang melakukan apa. “Kami asal Nduga,” tambahnya lagi. Mereka sedang membenahi bangunan sekolah darurat di pekarangan Gereja Weneroma di Sinakma. Sekolah ini semula hanya beralas terpal, yang belum satu tahun robek lalu menggerogoti terpal-terpal itu.

Siswa pengungsi Nduga sedang belajar di kelas berdinding seng di sekolah darurat di Gereja Weneroma pada Agustus 2019. (Alam Burhanan | VOA)

Dengan dana bantuan dari berbagai pihak, relawan membangun sekolah darurat berbahan triplek dan seng.

Sekolah dibangun untuk menampung anak pengungsi Nduga, menyusul konflik Nduga yang dipicu oleh pembunuhan 19 karyawan pembangun jalan Trans-Papua oleh kelompok OPM pimpinan Egianus Kogoya, pada Desember 2018.

Pada puncaknya, menurut pengakuan relawan, siswa sekolah ini sempat mencapai lebih dari dua ribu siswa. Pada Agustus 2019, siswa yang terdaftar menyusut menjadi 883 siswa, sebagian besar siswa sudah kembali ke kampung masing-masing karena situasi dianggap sudah membaik.

Siswa benyanyi dan berdoa sebelum belajar di kelas dimulai di sekolah darurat di Gereja Weneroma pada Agustus 2019. (Alam Burhanan | VOA)

Para pengungsi yang bertahan di Wamena bersama relawan kemanusiaan Papua, mencoba mempertahankan sekolah darurat. Mereka membangun kembali bangunan sekolah, berharap bisa bertahan lebih lama. Gotong royong membangun sekolah. Tak hanya orang tua siswa, juga siswa-siswa juga ikut membangun.

Kami bertemu dengan Frelius Lumengge. Dia sedang menggergaji kayu saat itu. Ototnya sudah terbangun kokoh untuk ukuran siswa SMP kelas dua. Dia menjadi salah seorang mandor perbaikan bangunan sekolah.

Bersama timnya Frelius kebagian tugas untuk memperbaiki meja dan kursi. Meja dan kursi dibangun memanjang dengan penyangga yang langsung ditancapkan ke dalam tanah. Meja dan bangku panjang kuat terpatok bumi, tak bisa digeser.

Kru VOA bersama penggungsi Nduga di depan honai di Sinakma, pada Agustus 2019. (Wene Tabuni)

“TNI sudah kuasai kampung, jadi kami mengungsi,” tak banyak tambahan informasi dari Frelius yang berpenampilan seperti rocker tapi pemalu. Dia hanya menambahkan rasa senangnya karena bisa sekolah lagi di Wamena, lalu memanjat bak belakang mobil untuk membeli bahan bangunan.

Menurut Pastor Johannes Jonga, sekolah ini patut dipertahankan untuk membina anak-anak muda Nduga. Kalau tak dibina, Pastor Jonga khawatir, akan lebih banyak anak-anak muda yang anti NKRI, karena alasan sakit hati, nasibnya tak diperhatikan negara.

Tempat tinggal tradisional masyarakat pegunungan tengah, honai, juga dibuat gotong royong. “Perlu waktu enam hari untuk membangun, dan tiga minggu untuk menyiapkan bahan-bahan bangunan,” tutur relawan Wene Tabuni.

Di tengah honai terdapat tungku api. Di atas tungku tersusun kayu bakar yang ditumpuk beberapa lapis ke atas. Dengan pola ini, api cukup untuk menghangatkan ruangan honai dan juga membantu mengeringkan kayu.

Secara struktural patok-patok honai langsung dihujamkan ke tanah. Selanjutnya dinding dijalin dengan ranting-ranting kayu yang dibuat membulat. Tak berjendela, untuk membantu udara di dalam tetap hangat. Cuaca di Wamena dan sekitarnya memang cukup dingin berkisar 5 hingga belasan derajat Celcius. Untuk pergantian udara, hanya berasal dari pintu relatif kecil, dan celah celah dinding dari ranting kayu.

Pekarangan Gereja Weneroma di Sinakma Wamena cukup luas, sekitar empat kali luas lapangan sepakbola, lahan masih tersedia. Di atas lahan itulah semua kelas sekolah darurat dan honai berdiri, menatap masa depan yang belum jelas.