Catatan Kami

Relawan Sekolah Darurat Weneroma

Sweater warna cerah dan syal di leher, cukup membuat hangat Raga Kogoya, relawan di sekolah darurat Gereja Weneroma, Wamena, Provinsi Papua. Pagi itu, 20 Agustus 2019, suhu di Wamena sekitar 15 derajat Celcius.

Suaranya lantang, terdengar untuk seluruh siswa yang jumlahnya lebih dari 800 anak. Sebelum pelajaran dimulai, siswa dikumpulkan di ruang serbaguna di sisi kanan gereja. Siswa menggelosor di lantai tak beralas. Di bagian belakang tertumpuk bantuan kemanusiaan untuk pengungsi Nduga. Di sini mereka bernyanyi lagu rohani dan ditutup dengan doa.

Raga Kogoya, relawan sekolah darurat di Gereja Weneroma, Wamena pada Agustus 2019. (Alam Burhanan | VOA)

Para siswa adalah anak-anak pengungsi dari kawasan Nduga dan sekitarnya yang mengungsi karena konflik bersenjata di sana. Konflik dipicu oleh serangan kelompok yang dipimpin Egianus Kogoya yang menewaskan 19 pekerja jalan. Kejadiannya pada Desember 2018. Pasukan TNI dan Polri dikerahkan mencari kelompok bersenjata itu. Warga terhimpit dua kubu yang bertikai, harus rela mengungsi untuk keselamatan diri dan keluarga. Sekolah darurat di Gereja Weneroma dibuat tak lama berselang setelah konflik bersenjata di kawasan Nduga, Kabupaten Jayawijaya.

Saat awal kejadian siswa sekolah mencapai tiga ribu anak lebih. Setelah itu semakin menyusut karena sebagian pengungsi berangsur pulang ke kediaman masing-masing. Siswa yang ada hari itu tercatat 883 anak, mulai dari kelas satu SD hingga SMA.

Anak-anak pengungsi berkumpul dan mendengarkan pengumuman dan arahan sekolah untuk tahun ajaran baru 2019-2020 di Sinakma pada Agustus 2019. (Alam Burhanan | VOA)

Sekolah darurat semula hanya dilindungi terpal. Dengan dana bantuan dari berbagai pihak, sekolah diperbaiki dengan seng untuk dinding dan atapnya. Untungnya cuaca Wamena cukup dingin, sehingga bahan seng tak membuat anak-anak kepanasan.

“Saya bahagia mengurus anak-anak,” kalimat meluncur dari mulut Raga Kogoya. Dia sudah menjadi relawan di sana hampir setahun. Raga adalah sarjana ekonomi, tak punya latar belakang guru. Dia membantu memimpin kebaktian dan mengajar bagi siswa-siswa SMA.

Saat operasi militer pelepasan sandera peneliti asing dan lokal yang disandera kelompok OPM pimpinan Kelly Kwalik tahun 1996 di Mapenduma, dia adalah anak pengungsi juga. Raga ikut orang tua mengungsi dan sekolah di pengungsian, sebagian temannya tak bisa melanjutkan sekolah.

Relawan memberikan arahan pembagian kelas untuk para siswa di sekolah darurat di Gereja Weneroma di Sinakma, Wamena pada Agustus 2019. (Alam Burhanan | VOA)

Getir itulah yang dirasa Raga. Dia menyebut pengalamannya mendorong kuat, membantu apa saja di sekolah darurat ini agar anak-anak tetap bisa sekolah. Tak lama usai berbincang dengan kami, Raga pamit untuk pergi bersama dengan relawan dan siswa lain mencari bahan bangunan untuk sekolah darurat. Raga dengan kuat menentang pendapat bahwa sekolah darurat ini adalah sekolah pendukung Organisasi Papua Merdeka. Dia tegas menyebut, sekolah ini adalah bentuk misi kemanusiaan.

Wene Tabuni, sedang sigap memantau kebutuhan apa yang diperlukan sekolah. Dia warga Wamena yang juga jadi relawan. “Kami sudah pernah kehilangan pendidikan, sekarang jangan lagi.” Menurut Wene, sebagian siswa mempunyai kendala jarak. Mereka harus berjalan kaki sekitar setengah jam ke Weneroma. Lokasi tinggal siswa terpencar di banyak tempat. Mereka tinggal menumpang bersama anggota keluarga dan kerabat di Wamena. Selain itu, tak jarang pengungsi tak punya cukup makanan. Siswa beberapa kali absen dengan berbagai kendala.

Relawan memberikan arahan pembagian kelas untuk para siswa di sekolah darurat di Gereja Weneroma di Sinakma, Wamena pada Agustus 2019. (Alam Burhanan | VOA)

Pemerintah Kabupaten dan Provinsi Papua, sudah mendorong agar pengungsi kembali ke daerah asal mereka. Alasan agar kembali, karena menganggap situasi sudah aman. Siswa-siswa sekolah juga diharapkan bisa bersekolah di sekolah-sekolah umum lainnya di kota terdekat. Sebagian sudah ada yang kembali sebagian masih bertahan.

Menurut Wene, sebenarnya beberapa pihak dan Dinas Pendidikan setempat sudah menawarkan siswa untuk pindah ke sekolah-sekolah di kawasan yang dekat seperti Napua dan Sinakma. Tapi siswa-siswa ini akan kesulitan menyesuaikan diri dengan alasan kesulitan bahasa dan kemampuan akademik. Bahasa pengantar di Nduga adalah bahasa Indonesia dan siswa juga mengerti. Tapi menurut relawan, kemampuan Bahasa Indonesia mereka masih terbatas dan selama ini di sekolah terbantu dengan bahasa lokal Nduga.