Catatan Kami
Takut Pengungsi Nduga
Serai adalah salah satu pengungsi di Wamena akibat konflik Nduga. Perang katanya, membuat dia dan keluarga mengungsi, melarikan diri ke hutan. Setelah berhari-hari menginap di gua-gua di hutan, sampailah mereka ke Wamena dan menetap di sana seadanya.
Matanya terlihat awas. Sesekali dia mendekatkan badannya ke api kecil dari ranting kayu seadanya yang dibakar oleh anggota keluarga lain. Hujan mengguyur rumah penampungan sementara, sesekali ditemani angin yang bertiup kencang saat kami bertemu pengungsi bernama Serai yang tinggal bersama sekitar 20 orang pengungsi lain. Dia tidak terlalu yakin berapa umurnya, kami memperkirakan sekitar 50-an tahun.
Mereka ditampung keluarga Pendeta Williamus Kogoya di kampung Sinakma, Wamena. Rumah itu berukuran sekitar empat kali enam meter. Dinding triplek berbeda-beda menempel sekenanya. Alas rumah dilapisi rumput sekitar dua sentimeter, mereka anggap cukup untuk mengurangi keras lantai tanah.
Pendeta Williamus Kogoya bersama sebagian pengungsi Nduga di rumah tampung darurat pada Agustus 2019. (Ahadian Utama | VOA)
Serai tidak pandai berbahasa Indonesia. Kami berbicara dengan bantuan Abu, putra dari Pendeta Williamus Kogoya yang juga ikut mengungsi dari Distrik Mugi. Melalui Abu dia mengaku ketakutan, mendengar suara tembakan dan suara senjata lain di Nduga saat polisi dan tentara mengejar Egianus Kogoya dan kelompoknya yang baru saja membunuh 19 pekerja jalan Trans Papua dari PT. Istaka Karya, di naas 2 Desember 2018.
Perang katanya, membuat dia dan keluarga mengungsi, melarikan diri ke hutan. Setelah berhari-hari menginap di gua-gua di hutan, sampailah mereka ke Wamena dan menetap di sini seadanya.
Saat di hutan, Serai mengaku makan ubi-ubian liar dan dedaunan semak hutan. Tidak sempat mereka bawa apa-apa untuk bekal perjalanan. Juga tidak banyak yang bisa dibawa dari rumah.
Menurut aktivis sosial yang juga Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hasegem terdapat sekitar 40 penampungan tersebar di kota Wamena. Mereka tinggal bersama keluarga atau teman-teman mereka. Tidak ada penampungan pengungsi khusus kasus konflik bersenjata di Nduga.
Bayi pengungsi Nduga yang dibawa orangtuanya mengungsi ke Wamena pada Agustus 2019. (Alam Burhanan | VOA)
Untuk makan, mereka mengandalkan bantuan baik dari keluarga, warga masyarakat dan gereja. Mereka sempat menolak bantuan makanan dari Dinas Sosial. Menurut Theo Hasegem, warga menolak karena tidak ingin bantuan disalurkan melalui tentara. Pada akhir Juli 2019, Dinas Sosial Provinsi Papua berniat menyalurkan bantuan untuk pengungsi di Wamena. Mereka bekerjasama dengan tentara untuk transportasi dan alasan keamanan. Bantuan tentara inilah yang menurut Theo jadi akar penolakan karena warga masih trauma dengan tentara yang sedang mengejar kelompok separatis bersenjata di kawasan pegunungan tengah, Kabupaten Jayawijaya.
Dari warga sendiri kami tidak mendengar alasan lugas soal penolakan itu, para pengungsi tidak banyak tahu alasan yang sebenarnya mengapa mereka harus menolak bantuan itu. Mereka terlihat tidak terlalu paham soal itu saat kami tanya lebih dalam. Yang mereka inginkan adalah bantuan terhadap keluarga mereka tanpa harus bertele-tele terlibat dengan pertikaian penyaluran bantuan.
Penjual lauk-pauk siap santap di Wamena yang sering disebut dengan “Mamak Lauk” pada Agustus 2019. (Alam Burhanan | VOA)
Kepala Dinas Sosial, Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi Papua, DR. Ribka Haluk menyebut, warga sebenarnya tidak menolak bantuan. Dia mengakui ada keterlambatan penyaluran karena kendala teknis di lapangan, sementara warga sudah menunggu di tengah hujan yang memang sering membasahi Wamena hampir setiap petang. Dia terbuka menyebut Theo Hasegem yang menyampaikan penolakan, bukan dari warga pengungsi Nduga.
Selalu saja dalam kondisi konflik bersenjata, warga sipil yang turut menjadi korban. Mereka terjepit, tak banyak pilihan hidup, akhirnya menumpang hidup seadanya, sembari menatap harapan bisa pulang ke kampung secepatnya. Harapan pulang yang sejujurnya bersatu dengan takut bahwa mereka tak bisa pulang selamanya.