Perang dan konflik bersenjata, selain membuat korban di kedua pihak, selalu saja meninggalkan pihak yang terjepit di tengah. Warga harus mengungsi, anak sekolah kehilangan waktu belajar, atau keluarga korban yang kehilangan anggota keluarga baik dari pihak aparat keamanan atau kelompok bersenjata. Kami mencatat dan melihat sedih yang terungkap, dan sedikit menangkap dendam yang tersimpan.
Berapa jumlah pengungsi akibat konflik bersenjata di Nduga? Pertanyaan itu sulit dijawab oleh pihak terkait, yang mengakui kesulitan untuk mengetahui jumlah persis pengungsi konflik Nduga akibat berbagai kendala.
Serai adalah salah satu pengungsi di Wamena akibat konflik Nduga. Perang katanya, membuat dia dan keluarga mengungsi, melarikan diri ke hutan. Setelah berhari-hari menginap di gua-gua di hutan, sampailah mereka ke Wamena dan menetap di sana seadanya.
Para pengungsi yang bertahan di Wamena bersama relawan kemanusiaan Papua mencoba mempertahankan sekolah darurat dengan membangun kembali bangunan sekolah. Tak hanya orang tua siswa, siswa juga bergotongroyong membangun sekolah.
Raga Kogoya adalah relawan di sekolah darurat gereja Weneroma, Wamena, provinsi Papua. Dia sudah menjadi relawan di sana hampir setahun. Raga adalah sarjana ekonomi dan meskipun tidak punya latar belakang guru, Raga mengaku “bahagia mengurus anak-anak”.
Bagian tersulit dari liputan soal Papua adalah meringkasnya dan mengemasnya secara sederhana agar mudah dicerna. Banyak sekali masalah berkelindan yang sulit dilepaskan satu dengan lainnya. Kalau ingin masuk lebih dalam memahami persoalan Papua, kami menawarkan Anda untuk melihat cuplikan wawancara kami dengan pihak-pihak yang sehari-harinya berkarya di Papua, kecuali tambahan dari Dewan Pers sebagai “pihak tengah” dalam melihat kebebasan pers di Papua.