Pejuang Syiah dari unit Mobilisasi Umum dan Tentara Irak sama-sama berperang melawan kelompok ISIS, 9 Juni 2015. (Foto: dok.)
Karena pasukan Irak semakin mendekati benteng-benteng terakhir pejuang ISIS di Mosul bagian barat, masalah nasib kota ini pasca pendudukan ISIS menjadi semakin penting.
Satu pertanyaan penting adalah taktik apa yang akan digunakan kelompok teror ini setelah kehilangan kendali atas Mosul – hal ini akan mempengaruhi keputusan politisi di Baghdad tentang pengelolaan kota terbesar kedua di Irak ini. Konsekuensinya akan sangat menentukan masa depan Mosul.
Analis menilai kampanye pemboman berkepanjangan oleh sel-sel rahasia ISIS yang diduga tersebar di seluruh kota akan menganggu upaya rekonsiliasi antar kelompok Sunni-Shiah.
Pejabat intelijen Kurdi menduga kelompok teror ini akan melancarkan pemberontakan tak kenal menyerah bermodus serangan bunuh diri, dan akan melancarkannya di seluruh wilayah utara Irak, menggunakan kawasan pegunungan terpencil sebagai pangkalan.
Diperkirakan ratusan militan ISIS telah melarikan diri dari Mosul dalam beberapa bulan terakhir. Intelijen Kurdi menyatakan tak meremehkan pengaruh Abu Bakr al-Baghdadi, pemimpin kelompok teror ini.
Perang asimetris yang kejam ini bisa dengan cepat memburuk jika pemerintah di Baghdad yang didominasi kelompok Shiah berupaya memerintah Mosul dengan tangan besi, atau bila mereka gagal merekonsiliasi berbagai kubu etnis dan sekte agama di Irak.
Pasukan keamanan Irak dengan seragam dan pakaian preman menuju Baghdad di jalan utama antara Baghdad dan Mosul, sehari setelah pejuang ISIS merebut sebagian besar kota Mosul, 11 Juni 2014. (Foto: dok.)
Sektarianisme di kalangan pemerintahan Irak sendiri merupakan faktor besar dalam berkembangnya ISIS. Keberpihakannya pada kubu Shiah membantu menjelaskan mengapa di tahun 2014 beberapa ratus militan ISIS mampu menguasai Mosul hanya dalam beberapa jam. Meskipun ada pendapat berbeda, sebagian besar penduduk kota pemeluk aliran Sunni saat itu merayakan kedatangan para militan ISIS karena mereka marah terhadap apa yang mereka pandang sebagai kekejaman sektarian pemerintah Irak.
Pemerintah Irak tampaknya belajar dari pengalaman dan bersikap hati-hati melarang milisi Shiah bertempur di dalam kota, dengan menempatkan mereka di pinggiran Mosul bagian barat dan selatan selama pertempuran yang berlangsung berbulan-bulan. Namun berbagai pertentangan kepentingan antara kelompok Sunni dan Syiah, serta Kurdi, Asiria dan Yazidi, mungkin akan berbenturan lagi di masa depan
Dalam laporan 2016 yang ditulisnya untuk Center for Middle Eastern Strategic Studies, lembaga studi di Irbil, ibukota Kurdistan, Othman Ali, profesor sejarah Salahuddin University memperingatkan bentrokan kepentingan akan mengakibatkan ”ketidakpastian yang cukup besar bagi Mosul pasca ISIS.”
Skenario terburuk adalah perpecahan sektarian akan berkobar cepat, khususnya tentang bagaimana membangun kembali dan mengelola Mosul, dan yang terpenting, penegakan hukumnya.
Sebelum dimulainya pertempuran merebut Mosul, dan berbagai kelompok sektarian bertengkar tentang kapan dan siapa saja yang bisa ikut serta dalam serangan, para pemimpin Kurdi mendesak harus dicapai kesepakatan tentang bagaimana pemerintahan Mosul pasca ISIS – baik di dalam kota maupun di propinsi sekitarnya.
Dalam sebuah konferensi ekonomi di Irbil,Nechirvan Barzani, perdana menteri Pemerintahan Wilayah Kurdistan (KRG) menyatakan, “Semua komponen politis dan agama harus mendapat tempat sesuai dalam proses politik dan penentuan masa depan wilayah dan bagaimana mereka ingin diperintah.”
Namun pada akhirnya, tak tercapai kesepakatan. Amerika ingin segera memulai pertempuran.
“Jika kita berusaha menyelesaikan semuanya sebelum merebut Mosul, ISIS tak akan pernah keluar dari kota itu,” kata utusan A.S. Brett McGurk kepada wartawan.
Kekhawatirannya sekarang adalah jika pemerintahan Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi kembali menerapkan struktur pemerintahan atas Mosul dan propinsi Nineveh sekelilingnya, yang serupa dengan apa yang ada sebelum ISIS merebut kota ini – yaitu bahwa seluruh kota diperintah oleh aparatur negara yang didominasi kubu Shiah.
Pemimpin Shiah Irak dan Iran kurang mempedulikan tuntutan kelompok Kurdi dan minoritas lainnya yang menginginkan pemerintahan terdesentralisasi di propinsi ini, yang memungkinkan sedikit otonomi bagi berbagai kelompok agama dan etnis, atau pemecahan propinsi ini menjadi beberapa propinsi lebih kecil. Proposal terakhir ini didukung oleh Pemerintahan Wilayah Kurdistan (KRG) yang mengklaim sebagian wilayah propinsi ini.
Banyak komunitas agama minoritas – Nasrani, Yazidi, Kakai dan Shabak – berkampanye mendesak agar desa mereka masuk dalam wilayah pemerintahan KRG.
Pejuang Partai Pekerja Kurdistan (PKK) melihat ke posisi yang diserang bom mobil ISIS di Irak bagian barat laut, 11 Maret, 2015. (Foto: dok.)
Situasi semakin kompleks karena kekuatan asing seperti Turki dan Iran ingin mempengaruhi masa depan Mosul. Turki memiliki tiga tujuan utama: menciutkan tempat aman di Irak utara bagi Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang dilarang di Turki; mengamankan hak komunitas Turki di Irak utara; dan mencegah Iran memperluas pengaruhnya melalui milisi Shiah yang bernama Pasukan Mobilisasi Rakyat alias Al-Hashd Al-Sha’abi di barat dan selatan Mosul.
Dalam laporannya mengkaji masa depan Mosul, profesor Othman Ali menyatakan, “Hanya kehadiran koalisi yang efektif setelah kekalahan ISIS di Mosul dan keingingan pihak terkait untuk berkompromi yang akan mencegah gelombang berdarah berikutnya di Mosul pasca ISIS.”
Pejabat A.S. mengatakan mereka juga yakin perlunya kehadiran koalisi yang tangguh di Irak utara. Dalam lawatannya ke Irak, Menteri Pertahanan Jim Mattis menyatakan pada wartawan bahwa setelah Mosul direbut, 9000 pasukan Amerika dan sekutu yang sekarang ada di Irak jangan ditarik terburu-buru.
Dalam kolom opini di harian Washington Post bulan Maret, perdana menteri Irak mengakui pentingnya bantuan koalisi, mulai dari keahlian milter hingga pengetahuan teknis. “Setelah menumpahkan darah bersama tentara Amerika Serikat guna memenangkan perang ini, kami ingin bekerja sama untuk menciptakan perdamaian,” tulisnya.
Ia menambahkan, “Kami minta Amerika Serikat bergabung dengan kami minta pada komunitas internasional agar memenuhi janji pendanaan guna mengamankan dan menstabilkan komunitas kami serta mencegah ISIS dan al-Qaida muncul kembali. Kami juga membutuhkan pengetahuan dan investasi A.S. untuk membantu upaya kami memulihkan ekonomi dan memperbaharui demokrasi.”
Warga mengais di puing reruntuhan rumah, rumah sakit dan bangunan lain yang dihancurkan ISIS atau dalam pertempuran empat bulan terakhir di Mosul, Irak, 30 Jan, 2017. (H. Murdock/VOA)
Banyak hal tergantung pada seberapa cepat pemerintah dapat memulihkan layanan publik yang esensial dan mulai membangun kota yang hancur ini. Faktor lain adalah apakah pasukan Irak mampu membasmi kantong-kantong ISIS yang tersembunyi di Mosul dan bagaimana keadilan ditegakkan bagi orang-orang yang bekerjasama dengan ISIS selama mereka berkuasa. Kemungkinan terjadinya pembalasan antar Sunni-Shiah akan dengan cepat menjegal harapan rekonsiliasi.
Bahaya kekejaman Shiah telah disorot oleh kelompok HAM yang menyerukan kepada pemerintah Irak agar tidak mengizinkan milisi Shiah memasuki Mosul. Namun ada pula resiko pertumpahan darah antar sesama kelompok Sunni.
Menurut pengamat, kelompok Sunni yang menderita di bawah ISIS, yang keluarganya dibantai oleh kelompok militan ini atau yang putrinya dipaksa kawin dengan ekstrimis, sangat mungkin meluapkan amarah mereka kepada sesama Sunni – bahkan tetangga sendiri – yang bekerjasama dengan kelompok teror ISIS.
Psikolog politik Maha Hassan Bukir, akademisi Universitas Salahaddin di kota Irbil, menyatakan situasinya serupa dengan yang terjadi setelah invasi A.S. ke Irak tahun 2003.
“Warga balas dendam kepada anggota dan simpatisan Partai Baath, banyak di antara mereka melarikan diri dan bersembunyi di kota lain atau meninggalkan Irak menuju Suriah,” katanya. Banyak di antara pendukung Baath ini yang kemudian bergabung dengan ISIS dan menjadi sumber keahlian militer bagi kelompok teror ini.
“Saya merasa kita akan melihat siklus balas dendam yang sama di Mosul,” menurutnya. “Mungkin tidak akan langsung terjadi, namun cepat atau lambat akan kita lihat.”