Ketika Abu Yousef, istri dan keempat anaknya tiba di kamp Khazir, badai pasir menghantam, memaksa para pengungsi yang lelah untuk lari ke tenda, Kurdistan Irak, 1 November 2016. (H.Murdock/VOA)
Saya bekerja sebagai petugas polisi ketika Mosul jatuh ke tangan militan ISIS. Ketika mereka merebut kota saya, Bashiqa, mereka memaksa kami – polisi dan pegawai pemerintah lain – pergi ke Mosul guna bertemu pejabat ISIS dan berjanji menjadi Muslim yang soleh.
Saya terkejut, saya sudah memeluk agama Islam seumur hidup saya selama 30 tahun ini. Namun mereka menyatakan, “Kamu bekerja untuk pemerintah Iraq yang menentang Islam.” Mereka menyumpahi kami dan menuntut supaya kami menyerahkan senjata.
Militan ISIS menghancurkan terowongan dan bangunan di semua desa dan kota dimana mereka terdesak , dekat kamp Khazir, wilayah Kurdistan Irak, 7 November 2016. (H.Murdock/VOA)
Mereka memaksa kami mengucapkan kalimat syahadat seperti yang sering kami ucapkan sebagai Muslim. Kami tak tahu kenapa kami harus mengucapkannya saat itu juga.
Lalu para militan tersebut memeluk kami dan menyatakan, “Kamu baru saja menjadi Muslim.”
Bagaimana mungkin saya baru menjadi Muslim?
Dua bulan kemudian militan ISIS datang ke rumah saya. Mereka bertanya, “Kamu Abu Yousef?”, saya bilang “Ya”. Mereka memborgol dan memaksa saya masuk ke dalam mobil. Setelah perjalanan 30 menit mereka memasukkan saya dalam kerangkeng satu meter persegi dan membiarkan saya semalaman. Paginya mereka membawa saya ke ruangan dan mendudukkan saya di kursi. Di seberang saya duduk lelaki berjanggut mengenakan pakaian putih. Mereka memanggilnya Sheik Abu Deema – atau Sang Algojo.
“Kenapa kamu kafir?” sheik bertanya pada saya.
“Saya bukan kafir, saya Muslim seumur hidup dan bahkan baru-baru ini saya mengucap syahadat di depan kalian,”. Saya lalu berbohong, “Saya menjadi polisi pemerintah karena perlu gaji. Hanya itu alasannya.”
“Tidak, kamu kafir,” kata Sheik Abu Deema, “Kami akan penggal kepalamu.”
Selama tujuh hari saya dikerangkeng dan mata saya ditutup. Mereka membawa saya keluar untuk dicambuk dan dipukuli dan memberi saya makan hanya satu kali sehari, semangkuk sup dan roti.
Di luar kamp Khazir, ribuan orang antri mendaftar di wilayah Kurdistan Irak, 5 November 2016. Lebih dari 45.000 orang dinyatakan kehilangan tempat tinggal, tiga minggu sejak serangan atas Mosul dimulai Juni 2017. (H.Murdock/VOA)
Di akhir minggu seorang militan meletakkan peluru di kantung saya dan berkata, “Jangan hilangkan peluru ini. Besok akan kami pakai untuk membunuhmu.”
Esoknya seseorang mendatangi kerangkeng saya dan meminta peluru itu kembali. “Ambil saja peluru yang ini,” katanya. Besok kami akan pakai untuk membunuhmu.” Begitu terus selama tiga hari, setiap hari saya diberi peluru baru. Pada hari keempat mereka mengatakan, “Hari kami akan membunuhmu.” Saya percaya pada mereka.
Mereka membawa saya kembali ke Sheik Abu Deema dan memaksa saya berlutut. Mereka memasang penutup mata dan saya mendengar sheik membentak, “Bunuh dia.” Saya merasakan pistol di kepala dan saya, dan mendengar pelatuk ditarik. Namun tak ada pelurunya.
Sebuah dokumen ISIS yang menyatakan pemiliknya (nama dikaburkan) telah bersumpah menjadi Muslim soleh sesuai standar ISIS. Dokumen ini bukan pernyataan bergabung atau bekerja untuk kelompok ini. Kamp Khazir, wilayah Kurdistan Irak, 8 November 2016. (H.Murdock/VOA)
Sheik kembali memberi perintah. “Bunuh dia,” katanya. Laras senapan menyentuh kepala saya dan orang itu menarik pelatuk. Sekali lagi tak ada peluru. Ini diulang tiga kali.
Lalu mereka mencopot penutup mata, membantu saya berdiri dan mengatakan, “Maaf, kamu bukan kafir. Kamu saudara kami.”
Mereka memberi saya 10000 dinar Irak (sekitar Rp. 100.000) dan saya dibolehkan pergi. Namun hukuman psikologis tersebut terus membekas pada diri saya.
This story was originally published 11 November 2016 on voanews.com