Khalifa, setelah menceritakan kepada VOA tentang nasibnya selama setahun disandera ISIS, bergegas untuk menemui kawan-kawan dan keluarganya tanggal 25 November 2016 dekat kota Dohuk di Kurdistan Irak. (H.Murdock/VOA)
Ketika militan-militan ISIS masuk ke kota, saya mengungsi ke rumah ipar perempuan saya beserta 14 orang lainnya. Saya dan ipar saya itu sedang hamil, dan kami berjalan menjauhi rumahnya selama 45 menit, agar tidak ditangkap. Tapi sudah terlambat. Beberapa kawan menelpon dan mengatakan, kalau kami tidak kembali, ISIS akan membunuh mereka. Ketika kami kembali ke rumah itu, kami dikepung dan ditangkap.
Keesokan harinya, kelompok militan itu memisahkan orang laki-laki dan perempuan, dan membawa perempuan-perempuan muda ke penjara. Kami harus menunggu selama seminggu sebelum dipindahkan, karena penjara itu sedang dihujani serangan dari udara. Mereka terus memindahkan kami dari satu tempat ke tempat lain untuk meghindari serangan udara, dan akhirnya membawa kami ke sebuah desa yang sudah ditinggalkan. Saya katakan pada mereka bahwa saya sedang hamil, tapi mereka tidak percaya.
“Kamu bohong,,” kata mereka. “Kamu bahkan belum menikah.”
Beberapa hari kemudian saya melahirkan, dan barulah mereka percaya. Saya kemudian dipindahkan ke Raqqa di Suriah bersama anak laki-laki dan bayi perempuan saya.
Militan-militan ISIS tidak percaya bahwa Khalifa hamil sampai ia melahirkan bayi perempuan beberapa minggu setelah diculik. Fakta bahwa ia sudah menikah tidak jadi soal; Khalifa dijual sebagai budak seks. Foto diatas menunjukkan putri Khalifa yang diambil dekat kota Dohuk, di Kurdistan Irak, tanggal 25 November 2016 (H.Murdock/VOA)
Di Raqqa, seorang tentara ISIS warga Saudi mengatakan pada saya: “Saya tertarik padamu. Ada orang lain yang lebih penting dari saya yang juga menginginkanmu. Tapi saya akan membawamu ke rumah saya di Kurdistan.”
Saya hidup dalam penjara jadi saya tidak tahu bagaimana perilaku para militan itu. Tapi saya percaya padanya. Dia juga mengatakan kalau saya tidak mau ikut dengannya, ia akan mengambil anak laki-laki saya.
Tapi kami tidak pergi ke Kurdistan. Ia membawa saya ke Alleppo, di mana ia menjual saya kepada laki-laki lain, seorang Emir ISIS yang bernama Mahmoud. Saya ditempatkan di kamar di tingkat atas sebuah rumah yang dikuasai ISIS. Rumah itu terletak dekat dua pangkalan ISIS dan mereka memutuskan bahwa mulai sekarang nama saya adalah Lameya.
“Lameya, coba lihat betapa hebatnya kami,” kata Mahmoud, sambil menunjukkan video-video mengerikan tentang orang-orang yang dibunuh. “Kami penggal kepala mereka seperti kami membunuh binatang.”
Saya bertanya: “Apa dosa orang-orang itu sehingga mereka dipenggal?”
Ia terus saja menunjukkan video-video itu kepada saya, dan ketika saya marah, ia mengatakan, “saya sedang berusaha membuatmu berani.”
Setelah saya tinggal dengannya selama lima bulan, tibalah hari pertama Newroz, perayaan tradisional tahun baru suku Kurdi, dan saya sedang berada di tempat tidur. Mahmoud berkata, “Hari ini adalah Newroz, Lameya. Apa yang kamu lakukan pada hari besar ini?”
“Kamu adalah orang Kurdi, dan kamu tidak tahu apa yang kami lakukan?,” jawab saya kebingungan.
“Akan saya tunjukkan padamu apa yang kami lakukan,” jawabnya. “Lameya, bangunlah dari tempat tidur dan panggil anak-anakmu. Saya akan tunjukkan sesuatu yang menarik untukmu.”
Sejenak saya senang, karena mengharap akan mendapat kebaikan, sekecil apapun itu. Tapi ketika saya melihat ke luar jendela, saya lihat ada 25 orang yang berpakaian berwarna jingga. Saya kira mereka adalah para petugas kebersihan yang datang untuk membersihkan rumah.
Kemudian saya melihat Emir ISIS mengambil sesuatu dari tangan-tangan mereka. Barang-barang itu adalah kartu tanda pengenal dan seragam laskar Peshmerga. Kemudian ia membuka sebuah buku dan membubuhkan tandatangannya di halaman buku itu. Belakangan saya ketahui bahwa tandatangan itu berarti ia menyetujui pembunuhan laskar Peshmerga itu, karena katanya, itulah perintah Tuhan.
“Bagaimana pikirmu kami akan memenggal orang-orang ini, Lameya?” tanya Mahmoud. Saya sangat ketakutan dan gemetar. Para tawanan itu satu persatu disuruh berlutut oleh kelompok militan dan kepala mereka ditutupi dengan kantong berwarna hitam. Kemudian satu persatu mereka dipenggal oleh para militan.
Tapi orang terakhir yang belum dibunuh berteriak ketakutan dan mengatakan: “Jangan. Biarlah saya hidup!” Saya memohon kepada Emir supaya jangan membunuh orang itu. Sejenak, Emir tampak akan mengampuni orang itu.
“Nama saya Haval Mohammad dari Kirkuk, Irak,” teriak orang yang malang itu. Ia adalah laskar Peshmerga seperti korban lainnya. “Saya tahu bahwa hidup saya tinggal beberapa menit lagi. Tolong katakan pada orang-orang apa yang terjadi disini.”
Tidak lama setelah itu, mereka memenggal kepalanya dan mayat-mayat laskar Peshmerga itu dibiarkan tergeletak di tanah dengan kepala putus.
“Biarlah anjing-anjing memakan mayat mereka,” kata Emir.
Semua ini memang telah terjadi. Tapi saya belum menceritakan apapun yang terjadi pada diri saya sendiri, karena kisahnya akan sangat panjang.
Khalifa, setelah menceritakan kepada VOA tentang nasibnya selama setahun disandera ISIS, bergegas untuk menemui kawan-kawan dan keluarganya tanggal 25 November 2016 dekat kota Dohuk di Kurdistan Irak. (H.Murdock/VOA)
Yang paling buruk adalah kekerasan yang mereka lakukan pada saya. Kalau ada yang ingin berhubungan seks dengan saya, mereka mengikat tangan saya dan memperkosa saya. Mereka selalu menggunakan kekerasan meskipun saya sudah menjadi tawanan mereka. Kalau mengalami kekalahan di medan tempur, mereka melampiaskan kemarahan mereka kepada saya.
Ketika ISIS terusir dari Kobani, saya diborgol dan diperkosa oleh empat orang laki-laki.
Ketika pertama kali kembali ke rumah, setelah keluarga saya membayar uang tebusan yang diberikan oleh pemerintah Kurdi, saya merasa seperti orang yang sudah mati. Tapi kini saya mulai merasa hidup kembali dan kembali menggunakan nama asli saya Khalifa. Saya harus menceritakan kisah saya. Saya tidak bisa melupakan bahwa masih ada ribuan anak perempuan yang ditawan oleh ISIS, dan apa yang terjadi pada saya masih terus terjadi pada mereka setiap hari.
Sebagai warga Yazidi, kami tidak minta apa-apa. Kami tidak memerlukan apapun, kecuali pembebasan anak-anak perempuan kami yang ditahan itu.
This story was originally published 28 November 2016 on voanews.com