Pasukan Irak menghancurkan papan yang menunjukkan arah kantor petugas keamanan ISIS di mana penduduk lokal dihukum dencan cambukan dan jenis pukulan lainnya, pada 19 Januari 2017 di Mosul, Irak. (H.Murdock/VOA)
Saya punya warung internet kecil. Sekitar sembilan bulan lalu, seorang anak perempuan datang dan minta saya memasang aplikasi Viber di ponselnya. Dia memakai hijab dan cadar lengkap, tetapi ketika para militan melihat dia, mereka masuk ke dalam warung.
“Apa yang kamu lakukan di sini sendirian?” mereka bertanya kepada perempuan itu. “Seorang laki-laki dan perempuan yang saling tidak kenal bersama-sama?” Saya kaget. Pintu terbuka. Seakan-akan kami berdiri di jalan. “Saya hanya sekedar membantu dia memasang Viber di ponselnya,” kata saya. Mereka tetap menyita ponselnya dan KTP saya, serta memerintahkan kami melapor ke kantor mereka.
Bilal Ahmed menyediakan jasa internet di daerah tempat tinggalnya selama hampir dua tahun pendudukan ISIS, meskipun diancam dan dipukuli kalau melalukan kesalahan-kesalahan kecil yang dianggap melanggar hukum yang mereka terapkan yang sangat kejam. 21 Januari 2017 di Mosul, Irak (H.Murdock/VOA)
Ketika saya tiba di sana, pemimpin para militan itu menyuruh saya duduk dan menceramahi saya selama 30 menit, menurutnya perilaku saya tidak bermoral.
“Saya tidak tahu itu salah,” kata saya. “Maaf.”
Sebenarnya saya tidak merasa saya salah, tetapi kalau saya tidak minta maaf, saya dipenjara. Dan kalau masuk penjara, tamat riwayat saya. Para militan beroperasi di rumah yang sama di mana mereka memenjarakan orang. Ketika terjadi serangan udara, tahanan bisa tewas di sel-sel mereka yang ambruk.
Sebelum mereka mengijinkan saya pulang mereka mencambuk saya 60 kali. Mereka mencambuk punggung saya, paha saya, dan kadang-kadang di telapak kaki.
Saya kira hanya sekitar 10 persen dari laki-laki di Mosul yang tidak pernah dicambuk.
Jangan coba bayangkan seperti apa kehidupan di sini waktu itu. Menakutkan. Tapi setengah dari Mosul menggunakan Internet ketika ISIS sampai di sini, dan mereka tidak bisa melarang semuanya.
Kartu SIM ponsel dan satelit tidak diperbolehkan, tetapi orang-orang tetap menggunakan Internet untuk berhubungan dengan anggota keluarga yang melarikan diri, meskipun berbahaya.
Saya sudah lama menyediakan layanan Internet dan itu pekerjaan saya, jadi ISIS memberi saya formulir-formulir yang harus diisi oleh pelanggan saya. Para militan mengatakan, “Kalau mereka melakukan sesuatu yang buruk, Anda yang bertanggung jawab.” Seorang rekan saya punya pelanggan yang kepergok berbicara online dengan seseorang di militer Irak. Ia lalu dieksekusi mati.
Rekan saya yang menyediakan layanan internet itu, mendekam satu bulan di penjara. Dia disiksa dan dipukul setiap hari. “Mereka ingin saya mengaku tahu tentang pembicaraan orang itu,” katanya kepada saya.
Saya punya 250 pelanggan saat itu, terlalu banyak untuk dipantau, tetapi saya tidak menawarkan layanan ini kepada orang-orang yang saya tidak kenal. Banyak orang lain takut untuk mendaftar sebagai pelanggan karena mereka harus memberikan identitas mereka kepada ISIS agar bisa punya akses online. Kalau ISIS menuduh Anda melanggar peraturan mereka bisa membunuh Anda begitu saja.
Ketika pasukan Irak hampir berhasil merebut Mosul timur, penembak jitu Irak mengawal daerah perkotaan sementara militan ISIS terus menembakkan mortir dan senapan ke arah daerah sipil. Foto diambil pada 19 Januari, 2017 di Mosul, Irak. (H.Murdock/VOA)
Militan senantiasa mengawasi siapa saja yang berkomunikasi dengan tentara Irak. Tetapi juga ada hal-hal lain. Misalnya, kalau Anda kepergok bicara dengan perempuan yang bukan ibu atau istri Anda di Facebook, Anda bisa dicambuk. Sekalipun itu sepupu Anda.
Waktu itu pertama kali mereka menggeledah rumah saya dan mereka mendobrak pintu saya. Mereka mencari di bawah karpet, di dalam lemari es, di mana-mana. Setelah itu saya pergi ke kantor mereka dan bertanya kenapa mereka menggeledah rumah saya.
“Kami diperintah untuk menggeledah rumah setiap pemasok layanan Internet,” kata seorang militan kepada saya. Saya mengeluhkan tentang pintu dan jendela saya yang dirusak. “Semoga Allah membantu Anda,” kata mereka. Ketika mereka menggeledah rumah saya untuk yang ketiga kalinya, mereka tidak merusak apa-apa. Mereka hanya memborgol saya dan mengunci saya di mobil mereka sementara mereka melakukan penggeledahan.
Pelanggan saya menggunakan Internet dengan ponsel mereka, kemudian menghapus pesan-pesan serta menyembunyikan ponsel mereka kalau sudah selesai. Di mana-mana ada mata-mata. Banyak orang malah tidak mau anak-anak mereka tahu bahwa mereka berkomunikasi dengan seseorang di luar. Mereka takut anak-anak mereka nanti bicara soal itu di jalan. Sejujurnya, seandainya waktu itu ada pekerjaan lain, saya tidak mau mengelola warung internet. Saya ketakutan terus.
Anak-anak bermain di tempat yang dulunya sekolah mereka, dan diduduki ISIS sebelum dibom dalam serangan udara pada 19 Januari, 2017 di Mosul, Irak. (H.Murdock/VOA)
Tetapi orang-orang ingin layanan Internet, khususnya karena kami begitu terisolir. Sekitar enam bulan yang lalu sebuah serangan udara menghantam menara Internet kami karena letaknya di dekat pangkalan ISIS. Sejak pasukan Irak berhasil merebut kembali tempat saya tinggal ini, kami berusaha untuk menghidupkan kembali layanan itu. Orang-orang datang ke rumah saya setiap hari, kata mereka “Bilal, kapan kami bisa menikmati Internet lagi?”
This story was originally published 22 Januari 2017 on voanews.com