Ibu Ali, Iman, dan keempat anaknya dijadikan tameng oleh para militan ISIS ketika pasukan Irak menyerang Mosul, merebut kembali kawasan yang dikuasai ISIS awal tahun ini di Mosul, Irak, pada 27 Januari 2017. (H.Murdock/VOA)
Ali: Saya kelas dua ketika ISIS datang ke sini, tetapi saya putus sekolah dan mulai bekerja. Saya membeli gerobak kayu dan membantu orang mengangkut barang dengan upah uang. Awalnya, mereka tidak mengganggu kami, tetapi sebuah kelompok yang bernama ISIS membunuh ayah saya tahun 2009. Ibu saya melarang saya berurusan dengan mereka.
Ibu: Ketika pertama datang mereka bersikap damai karena sibuk menyesuaikan diri. Para pegawai negeri tiba-tiga kehilangan pekerjaan. Selain itu, tidak ada perubahan apapun.
Ali, pencari nafkah keluarga umur 14 tahun, mengatakan kepada ISIS ia tidak dapat bergabung karena sekolah, tetapi sebenarnya karena ia pernah menyaksikan eksekusi brutal, 27 Januari 2017, di Mosul, Irak. (H.Murdock/VOA)
Sebulan kemudian mereka mulai memberlakukan aturan-aturan aneh. Saya dilarang keluar rumah tanpa mengenakan cadar dan sarung tangan, dan saya harus ditemani saudara laki-laki. Ali adalah satu-satunya yang dapat menemani saya keluar rumah.
Ketika saya suruh anak perempuan saya, Shamea, yang berumur 11 tahun, berbelanja ke warung, saya pikir boleh saja ia mengenakan celana jean. Seorang militan ISIS menyuruhnya pulang dengan mengatakan, “Jangan keluar rumah lagi kalau tidak berpakaian layak.”
Sejak itu, bahkan Dallel, anak perempuan saya yang berumur 7 tahun, tidak mau keluar rumah tanpa mengenakan cadar hitam. Ia takut dengan para militan. Mereka berjenggot lebat, membawa senjata, dan memberikan perintah dengan suara keras. Saya harus membeli burka ukuran paling kecil untuk divermak.
Setelah aturan-aturan, kekerasan menyusul, diawali dengan penghancuran gereja-gereja.
Pasukan Irak memasang di tiang-tiang lampu dan menyebar di lapangan-lapangan di Mosul, Irak, selebaran seperti ini yang menyatakan bahwa kekuasaan ISIS sudah berakhir, 21 Januari 2017. (H.Murdock/VOA)
Ali: Orang dicambuk kalau dipergoki berada di luar pada saat waktu sholat. Kemudian, ada yang dibunuh.
Sekitar setahun yang lalu kami sedang berbelanja di kampung kami, bersama adik-adik saya. Beberapa mobil mendekat. Di mobil yang ada di tengah kami melihat dua pemuda remaja dan seorang lelaki di tempat duduk belakang, mereka semua dibelenggu, dan semua menangis.
Adik-adik saya melihat bahwa mereka mengenakan pakaian penjara warna jingga dan lari ke dalam rumah. Militan ISIS mengatakan kepada kami yang masih di luar. “Kalian datanglah ke sini dan menjadi saksi.” Kami ikuti mereka ke masjid yang letaknya tidak jauh. Kami dengar bahwa mereka didapati berkomunikasi melalui internet dengan orang-orang yang terlarang untuk dihubungi.
Tentara Irak menjaga kawasan penduduk sipil setelah merebut bagian timur kota, tetapi peluru mortir terus berjatuhan di area-area di dekat Sungai Tigris di Mosul, Irak, 23 Januari 2017. (H.Murdock/VOA)
Ibu: Selagi militan mengeluarkan mereka dari mobil, salah satu anak lelaki itu berteriak, “Ampun, ampun, saya bersumpah akan melakukan apapun yang kalian inginkan. Jangan bunuh kami, kami tidak bersalah!”
Ali: Para militan menyuruh mereka berlutut dan kepala mereka ditekan ke balok. Ketiganya meronta-ronta, sementara para militan menyuruh mereka diam. Militan-militan itu menendang mereka dan menghunus pedang.
“Allahu Akbar!” teriak seorang militan. Saya memalingkan muka. Ketika saya menoleh balik, saya lihat tiga kepala di tanah. “Barang siapa tidak mematuhi perintah Tuhan, inilah yang akan terjadi pada mereka,” kata militan itu. Tetapi ia salah. Ia tidak bicara tentang perintah Tuhan, melainkan perintah ISIS.
Kemudian para militan menembaki kepala-kepala itu dengan senjata mereka. ISIS menyebutnya “peluru belas kasihan” karena meninggal akibat peluru paling tidak menimbulkan rasa sakit dibanding dengan cara lain.
Mayat-mayat itu kemudian dilemparkan ke dalam karung dan dimasukkan ke mobil. Kepala-kepala itu ditinggalkan di halaman masjid selama beberapa hari sebagai peringatan untuk kami.
Ibu: Sangat susah bagi kami karena tiga militan ISIS tinggal di gedung kami bersama keluarga mereka. Mereka campur tangan dalam kehidupan kami dengan cara-cara aneh, seperti melarang anak-anak mengucapkan selamat berpisah dengan kata Inggris “bye” karena menurut mereka itu dosa. Saya tidak berbicara dengan istri-istri ISIS itu dan saya larang anak-anak saya bermain dengan anak-anak mereka.
Ketika militan minta agar saya mengizinkan Ali menjadi anggota ISIS, saya terpaksa berbohong. Saya katakan Ali sibuk bersekolah sehingga tidak dapat bergabung. Orang-orang seperti mereka telah membunuh suami saya. Saya tidak akan pernah lupakan itu.
Ali: They also asked me if I wanted to join while I was walking up the stairs one day with my friends in our apartment building about seven months ago. “Hey guys,” the man said in a friendly way. “How are you?”
Ali: Mereka juga bertanya apakah saya ingin bergabung selagi saya naik tangga apartemen kami bersama beberapa teman sekitar tujuh bulan yang lalu. “Hey sobat,” orang itu menyapa dengan gaya akrab. “Apa kabar?”
“Mari bergabung dengan kami,” ia berkata kepada saya. “Kami beri kamu uang. Hidupmu akan baik dan kalau kamu mati, kamu akan diberi 70 perawan di surga.”
Saya jawab, “Tidak, saya harus sekolah.”
Jujur saja, saya mungkin bergabung seandainya mereka berada pada jalur agama murni. Tetapi mereka berada pada jalur yang sangat salah.
Saya tidak lagi bekerja menggunakan gerobak karena gerobak saya hancur kena mortir. Saya menjual air dan makanan kecil bersama paman saya. Pekerjaan yang lebih baik.
This story was originally published 28 Jan 2017 on voanews.com